BOY RAJA P. MARPAUNG, SH & REKAN

  • Alamat dan Kontak Kantor Hukum BOY RAJA P. MARPAUNG, SH dan REKAN

    -
  • KARTU NAMA BAPAK BOY RAJA MARPAUNG, SH

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 21 Agustus 2014

Tulisan adalah Kekuatan


Terbit di Harian Analisa Sabtu, 2 Agustus 2014 

*Boy Raja Pangihutan Marpaung
Banyak yang bilang, nuklir adalah senjata paling mematikan di dunia. Kekuatan dan dampaknya dapat menghancurkan dunia beserta isinya. Namun, hal ini tak berlaku bagi para EZLN (kelompok pembebasan di Meksiko). Senjata paling mematikan bagi mereka adalah kata-kata. Dengan kata, dunia yang ada saat ini tercipta. Segala sesuatu ada karena kata. Dengan kata, pengetahuan seseorang dapat terisi.
Seperti yang diutarakan filsuf Perancis, Michael Foucault, power is knowledge. Hal ini juga ditegaskan Subcomandante Marcos (Pemimpin EZLN), senjata utama mereka adalah kata yang bisa mengubah dunia berserta isinya. “Kata adalah senjata,” tegasnya.
Buku berjudul Our Word Is Our Weapon  yang dituliskan Marcos sangat menginspirasi para pengikutnya. Mereka menganggap salah satunya alat yang sangat membahayakan karena tajam nya kata itu.. Kata- kata yang dikeluaarkan dari mulut itu semua memiliki makna dan setiap kalimat yang dilontarkan memiliki maksud.
Ketajaman kata yang dimaksudkan dalam hal ini tentu memiliki arti yang mendalam. Memiliki sebuah makna yang sangat luar biasa dan memiliki maksud untuk mendapatkan sasaran dari kata yang dilontarkan. Begitu juga dengan kalimat, tidak lagi sebuah gabungan kata yang di rangkai menjadi indah bunyinya, melainkan beberapa kata-kata yang memiliki makna dan di gabunngkan menjadi  memiliki maksud tertentu untuk tujuan tertentu berdasarkan kebenaran.
Kekuatan Dalam Tulisan
Hal ini tentu mengingat kan kita yang sering menggunakan kata dan kalimat untuk menggambarkan suatu atau menyampaikan bahkan mengkritik sesuatu. Bagaimana sebuah kata dan kalimat yang kita keluarkan  merupakan kekuatan yang kita miliki dalam hal yang menujukan suatu penyampaian yang kita perjuangkan. Itulah yang dimaksudkan dengan writing is power.
Kata dan kalimat yang kita gunakan untuk menuliskan sesuatu, harus memliki sebuah makana dan tujuan yang memang didasari dari hal sebuah realitas. Sebab realitas dalam sebuah tulisan itu merupakan sebuah kekuatan. Kekuatan untuk mengkritik, menyampaikan, dan penggambaran. Hal ini akan mendorong bagaimana maksud dari tulisan itu mengarah kemana.
Menulis tanpa mendapatkan realitas sesungguhnya tentu akan mengurangi dan bahkan membuat tuisan itu menjadi tumpul dan tidak memiliki kekuatan. Spontanitas merupakan penyebab dari hal tersebut. Tanpa melakukan proses praksis (Refrensi-Diskusi-Refleksi-Aksi-Evaluasi) sudah langsung dapat menyimpulkan sesuatu.
Mencegah hal tersebut, maka perlunya para penggiat tulisan mendekatkan diri kepada realitas, karena tanpa dibarengi dengan realitas tulisan itu sama sekali tidak menggigit. Kita tentu memiliki sasaran tulisan yang menunjukkan kepada siapa kita akan tujukan tulisan tersebut. Misalnya kita mengarahkan tulisan yang berbentuk kampanye kepada masyarakat awam, tentu kita harus tahu, bagaimana gaya bahasa yang harus kita lontarkan dalam tulisan agar masyarakat awam itu mengerti terhadap seruan dalam tulisan kita.
            Hal ini juga menggambarkan kita sebagai penulis, seberapa pahamnya kita tentang apa yang telah kita tulis. Banyaknya kebutuhan ilmu pengetahuan merupakan dasar dari menulis, sehingga harus banyak pula yang kita ketahui tentang apa yang kita tulis melalui realitas sosial yang kita hadapi dan tidak lupa dengan membaca.
Belajar dari Pendahulu
            Sangat banyak para pejuang terdahulu yang menggunakan tulisan sebagai kekuatan untuk merealisasikan dan mengkampanyekan sesuatu yang diperjuangkan mereka.  Mereka merealisasikannya melalui tulisan-tulisan, baik berbentuk pucukan surat, puisi, novel dan bahkan menuliskan buku, seperti Marcos.
            Soekarno, proklamator Indonesia yang menulis di media-media cetak untuk melawan penjajahan Belanda, tulisan-tulisannya sekarang menjadi buku “Dibawah Bendera Revolusi”. Ia mengatakan jangan sekali-sekali melupakan sejarah, sebab barang siapa yang melupakan sejarah bangsanya, maka akan lupa pula untuk memajukan negaranya.
            Pramoedy Ananta Taoer, seorang sastrawan yang telah menulis lebih dari 50 buku, dalam buku-bukunya. Dia melontarkan kritik –kritik politik dalam tulisannya, di juga memperjuangkan humanisme dalam budaya-budaya feodal yang masih di terapkan di Jawa, serta kampanye kekejaman penjajahan Jepang di Indonesia.Setiap tulisannya memiliki sejarah realitas yang dihadapinya sendiri. Pram mengatakan “Menulislah maka engkau akan tahu sejarah mu”.
Voltaire, merupakan seorang pengarang, sejarawan, pengacara dan filsuf ternama Perancis, ia terkenal karena telah menulis lebih dari 20 ribu surat dan 2 ribu buku dan pamfle. Dia pejuang Humanisme pra meledaknya revolusi Prancis melalui gagasan-gagasan dalam tulisannya. Dia berkata “Ok, ok, teman saya yang baik, sekarang bukan waktunya untuk membuat musuh”.
Ernesto Guavara, seorang Revolusioner dari Argentina yang melakukan pembebasan rakyat Cuba. Dia selalu menuliskan di buku hariannya yang saat ini sangat terkenal dan menulis surat-surat pada kaum muda. Dia berkata kepada tema grilyanya “Tidakkah kau membaca, paling tidak menulis diary mu, kalau kau tidak melakukannya,  lebih baik kau berada di rumah mu”
            Inilah para pendahulu ternyata berjuang berdasarkan inteligensia mereka, dari praktek hingga gagasan-gagasan yang mereka keluarkan berdasarkan realitas yang mereka rasakan dengan nyata di tuangkan juga kedalam bentuk tulisan, dan memiliki sasaran serta target tertentu. Mereka membuktikan juga bahwasanya tuslisan-tulisan yang mereka ciptakan memiliki nilai-nilai yang menjadi kekuatan dalam perjuangan mereka.
            Jadi sudah waktunya kita menulis dengan hal yang berangkat dari realitas agar menciptakan realitas baru, dan tulisan kita itu memiliki kekuatan, dan bukan lagi retorika belaka, antara praktek dan gagasan yang kita keluarkan seimbang. Antara ide dan perjuangan memiliki sasaran dan target yang jelas serta memiliki maksud yang jelas dalam tulisan akan menjadi kekuatan untuk menciptakan apa yang kita inginkan dari tulisan itu.
Penulis aktif dalam gerakan sosial dan Ka.Divisi Investigasi & Riset  di Hutan Rakyat Institute (HaRI)
Share:

Kamis, 24 Juli 2014

Tak Lagi Organik

Indah matamu terkadang menipu 
Segar bagaikan tumbuhan yang baru mekar
Menyapa pagi dengan embun bersyahdu
Bingar ria membangunkan sangar

Rambut dan kulitmu halus bersih
Bagai kanvas sedia kala terbingkai
Rajut wajah yang kian memutih
Lambai pelukis tak lagi mengubris

Kaki kuat mu berjalan merdu
Berlayar mengarungi tanah
Akar rumput selalu menyambut
Belajar setia hingga renta

Tangan manis memiliki jari lentik
Selalu membelai dengan harapan
Memegang erat bagai tercekik
Pertanda akan ada tangisan

Maka keriput tak lagi bangga
Enggan sembuh di hadapan suntik
Tubuh elok secepat curiga
Itu pertanda kau tak  organik

Medan
25 Julli 2014




Share:

Senin, 14 Juli 2014

Merindukan Presiden Idaman Proletar

Terbit di Harian Analisa Selasa, 8 Juli 2014



 Oleh: Boy Raja Pangihutan Marpaung. 


Pergantian rezim yang semakin dekat merupakan hal yang ditunggu-tunggu oleh rakyat Indonesia. Sepuluh tahun Susilo Bambang Yudhoyono menjadi kepala negara kini tiba waktunya dia harus memberikan jabatannya kepada rezim baru. Pesta demokrasi yang sering disebut dengan pemilihan umum (Pemilu) akan menentukan kepada siapa dan rezim seperti apa yang akan tiba di setiap sendi kehidupan dan sosial rakyat Indonesia nantinya.
Penantian dan harapan rakyat Indonesia akan masa depan negara kini ditentukan oleh banyaknya lubang pada kertas yang akan disebar di seluruh tempat di Nusantara. Setiap lubang tentu memiliki penantian dan harapan yang sangatlah memberikan pesan pada rezim baru. Antusias rakyat Indonesia akan rezim baru terlihat jelas penuh harapan ketika angka golput menurun. Sikap politik yang diberikan rakyat tentu sebuah kerinduan akan sosok pemimpin yang mengharapkan kehadiran rakyatnya.
Namun sebenarnya, yang memiliki harapan yang sangat besar akan perubahan yang lebih baik untuk kehidupan manusia di Indonesia adalah mereka kaum proletar. Kesejahteraan dan keadilan merupakan sebutan yang dikampanyekan atas kehidupan mereka yang sangat jauh dari kehidupan yang layak. Dan tentu semestinya merekalah menjadi takaran atas harapan rezim baru yang akan datang.
Penentu yang Terabaikan
Dari strata kasta kehidupan sosial atau kelas-kelas masyarakat yang ada, proletar merupakan kelas yang paling bawah. Jika kita mengingat di buku pelajaran sosiologi maka akan ada gambaran kelas-kelas masyarakat. Gambaran yang berbentuk piramida dan dibagi menjadi tiga bagian yakni, kelas di bagian teratas, kelas menengah dan kelas bawah. Proletar menempati bagian terbawah dari bagian kelas terbawah tersebut. Proletar atau kelas yang terbawah dari strata kehidupan sosial dan sisanya merupakan kaum borjuis dan kaum pemilik modal.
Proletar atau proletariat ini berasal dari kata latin proles yang artiannya kelas sosial rendah. Maka kaum proletar ini sering disamakan dengan para buruh, buruh tani, petani, gelandangan dan kaum miskin kota, karena merekalah yang menempati bagian terbawah dari segitiga piramida tadi. Namun dalam sejatinya kaum proletar ini merupakan kelas terbawah yakni mereka yang hanya mengandalkan otot nya atau sering kita sebut buruh. 
Jika kita lihat gambar dari piramida itu, dari atas lebih lancip dan semakin lebar kebawah layaknya gambar segitiga. Tentu itu menunjukkan kwantitas dari kelas tersebut. Maka dapat kita simpulkan bahwa kelas terbawah merupakan kelas terbanyak dari semua kelas yang ada. Atau proletar mendominasi kaum borjuis dan pemodal dari segi jumlah banyaknya orang. Tentu ini menjadi kebenaran mutlak, jika dilihat dari sebuah perusahaan, contohnya pemiliknya adalah satu atau lima jika perusahaannya Tbk. sementara burhnya akan mencapai ribuan orang. Begitu jugalah demikiannya dalam negara.
Berarti dalam hal tersebut, jika kita kembali kepada topik pemilihan yang akan menentukan pemimpin yang akan datang, seharusnya kaum proletar merupakan penentu siapa yang akan memimpin. Dari jumlah yang mendominasi tentu akan dapat melahirkan pemimpin. Serta mereka juga seharusnya menjadi acuan para kandidat yang akan mencalonkan diri dengan misi rezim yang barunya. 
Namun dalam kenyataan yang terlihat saat ini, kaum proletar seakan terabaikan dari penglihatan para kandidat dan mereka yang memiliki kepentingan, walaupun mereka tetap menggunakan kata kesejahteraan dan keadilan dalam setiap kampanyenya. Seakan tidak ada ruang bagi par proletariat untuk menjadi salah satu penentu arah bangsa kedepan.
Ruang-ruang publik pada saat pemilihan presiden seperti ini seharusnya diisi lebih banyak dari kaum proletar. Contoh yang sering kita lihat pada saat berita-berita di televisi yang bertemakan pemilu, sangatlah jarang pembicara itu dari kelas mayoritas tersebut. Pengamat politik, pejabat, politikus, pengusaha, akademisi, tokoh agama dan aktivis yang mendominasi ruang publik dalam menyampaikan harapan-harapan pada calon pemimpin yang baru. Lalu kemana mereka para kaum proletar, kaum yang sangat mayoritas? Apa pernah seorang buruh diminta datang ke studio media televisi sebagai narasumber dalam topik pemilihan umum? Tentu tidak! Dan jelas mereka terabaikan.
Suara Penentu Masa Depan
Terabaikannya mereka dari pandangan kelas menengah dan atas dalam menyampaikan suara-suara mereka tentu akan mempengaruhi nasib bangsa ini kedepan. Sebab tak seorang pemimpin itu mengerti bagaimana persoalan para kelas bawah (proletar) jika dia tak pernah menjadi seorang proletar. Kecuali dia berniat untuk mengubah wataknya menjadi watak seorang proletar yang sebenar-benarnya merindukan sebuah kesejahteraan yang sejati. Dengan cara mendekatkan diri dengan mereka dan belajar akan kondisi kehidupan para kelas bawah yang mayoritas itu.
Tidaklah mudah, namun itulah kenyataannya. Para kelas masyarakat yang bukan kelas dari proletar hanya tahu pengertian kesejahteraan dari kamus saja, demikian juga para calon presiden. Sebab yang lebih paham pengertian kesejahteraan adalah mereka yang paling mengharapkan dan merindukannya. 
Maka berikanlah mereka ruang dan waktu untuk mengajarkan kita akan kesejahteraan yang sebernarnya. Menyampaikan makna kesejahteraan bagi para calon presiden yang akan datang. Juga bagi mereka yang menggunakan kata kesejahteraan untuk melanggengkan sebuah pekerjaannya. Agar kita mengerti dan paham sebenarnya apa persoalan di negeri ini dan siapa pemimpin yang pantas untuk memperbaiki persoalan tersebut.
Tulisan ini tentu menjadi pesan bagi para calon pemimpin, bahwa sebenarnya rahasia persoalan di negara ini berada di setiap kehidupan kelas bawah. Maka, mulailah mendekatkan diri untuk mendengarkan suara para proletariat itu, sebab suara merekalah penentu masa depan negeri ini. Merekalah punggung yang menahan kelas menengah dan kelas atas agar tetap berdiri pada posisinya, serta merekalah orang yang pantas menjadi panutan dalam memimpin negara ini.
Jika seorang pemimpin yang diidamkan para kaum proletar ini lahir, kedekatan kepada mereka membuat pemimpin tahu mengapa mereka tidak sejahtera dan lebih mudah juga untuk mengubahnya menjadi sejahtera. Dan yakinlah suatu saat piramida kelas masyarakat itu akan berubah menjadi meruncing ke bawah.***
* Penulis aktif di gerakan sosial dan Ka. Divisi Penelitian dan Riset di Hutan Rakyat Institute (HaRI)
Share:

Jumat, 23 Mei 2014

Mengenali Gerakan Buruh Lebih Dekat

Terbit di Harian Anlisa 18 Mei 2014

(Tanggapan atas Tulisan Naurat Silalahi pada Tanggal 8 Mei 2014)
*Boy Raja Pangihutan Marpaung
            May Day merupakan sebuah hari yang bersejarah di seluruh dunia dan begitu juga di Indonesia. Hari itu menjadi hari momentual bagi para buruh seluruh dunia untuk mengkampanyekan kegelisahan dan penderitaan mereka. Maka salah satu tuntutan buruh Indonesia yang di wujudkan presiden SBY tahun lalu menjadikan libur nasional di 1 Mei mulai tahun 2014. Dan tahun ini menjadi momentum perdananya mereka untuk mengekspresikan hari khusus buruh tersebut.
            Tidak heran jika masih banyak sebuah jenis usaha seperti, UD, Persero, CV, dan bahkan PT masih tidak meliburkan para buruh mereka. Sehingga para buruh sampai melakukan sweeping ke perusahaan lain seperti di beberapa kota di Indonesia. Salah satu contoh yang diberikan oleh Naurat Silalahi, si pria yang ingin menjemput barang dari sebuah percetakan yang “tentu”memiliki pekerja dan dia salah satu pekerja, dia takut tidak dapat mendistribusikan kepada konsumen barang tersebut. Kenapa masih ada buruh dipekerjakan di hari buruh nasional yang diliburkan? Hanya untuk kepentingan keuntungan perusahaan?
            Turun kejalan merupakan gerakan serentak para buruh di hari yang khusus untuk mereka tersebut. Banyak alasan kenapa mereka harus demonstrasi, mogok kerja, atau bahkan boikot perusahaan langsung. Itu merupakan gerakan yang di sepakati bersama atas keluh kesah yang mereka dapatkan di perusahaan. Aksi mereka pada dasarnya tidaklah berhubungan dengan kepentingan umum, melaikan kepentingan modal yang berjalan mealui tenaga dan tangan mereka tanpa dihargainya masa depan mereka.
            Buruh Tau Aturan
Sebelum menjejaki gerakan atau serikat buruh sebenarnya kita tidak pantas menilai dangkal sikap para buruh. Buruh bahkan agen yang terlibat besar menciptakan sejarah-sejarah di dunia sampai terciptanya negara maju. Dari jaman perbudakan, hamba-tani dan sampai ke kapitalisme saat ini merupakan kerja tangan para buruh.  Bahkan sehelai benang yang ada di tubuh kita yang menjaga martabat orang timur agar tidak telanjang itu juga hasil kerja tangan para buruh.
Persoalan martabat bangsa dan sopan santun itu  tak ada gunanya jika orang yang ingin menjalankannya tidaklah makan. Meludah memiliki nilai estetika yang buruk, tentu karena itu tanda hinaan dan mungkin itu adalah perlawanan estetika yang di lampiaskan mereka. Jangankan meludah, bahkan sampai menerobos masuk ke gedung-gedung pemerintah seperti pada tulisan sebelumnya itu merupakan tindakan yang bukan tanpa sebab.
Bagaimana dengan Spartacus, budak yang sangat ditakuti di dunia karena membunuh dan menghancurkan sebagian besar negara adikuasa Romawi pada jamannya dan Spartakus salah satu orang yang ditokohkan akibat perjuangannya melawan perbudakan romawi. Atau pengharggaan besar bagi para buruh akibat perjuangan mereka yang mampu menghancurkan kapitalisme pada jaman Soviet. Dan itu juga ditirukan beberapa negara timur seperti Cina, Korut dan Vietnam. Bahkan mereka menjadi bagian negara yang di segani negara eropa secara ekonomi.
Meludah bukanlah tindakan yang tidak memiliki estetika. Bahkan kita merasa terhormat ketika merobek bendera Belanda dan menjadikan bendera kebangsaan kita dan itu tentu memiliki kemiripan. Metode mediasi dengan cara berdiskusi dengan pihak perusahaan atau pemerintah bukanlah hal yang belum dilalui untuk menempuh cara aksi yang lebih menentang oleh buruh. Buruh mengerti dan tau aturan serta batasan kemampuan mereka bertindak. Itu terlihat dari apa yang dituntut mereka, seperti kasus Outsourching, Buruh Harian Lepas, Upah layak dan jaminan keselammatan kerja.
Itu bahkan tuntutan yang sudah lebih sepuluh tahun lamanya. Apakah mereka harus tetap bermediasi seperti yang disarankan penulis sebelumnya? Tapi mungkin sang penulis sebagai intelektual dan akademisi perlu mendekatkan diri pada buruh.
Rakyat Memiliki Cara
Ini bukan persoalan karena tuntutan tidak diperdulikan, tapi lebih ke metode gerakan rakyat yang memang hanya satu-satunya cara yang teruji adalah berdemonstrasi. Rakyat tidak seintelektual para akademisi yang memiliki metode retorika dalam mediasi berdialog, jadi pantas rakyat memiliki caranya sendiri dan tentu itu merupakan cara yang juga bagian dari demokrasi. Bahkan hampir semua masyarakat luas memakai cara ini untuk menyampaikan aspirasi. Bagaimana dengan hari-hari kampanye partai pilitik terdahulu yang lebih 1 minggu membuat macet? Karena program nasional kah? Hari buruh juga diakui secara nasional bahkan international juga mengakuinya.
Kesejahteraan merupakan alasan mengapa lahirnya sebuah protes para buruh. Bukan dikarenakan layak berdasarkan posisi kejanya, tapi sesuai dengan kebutuhan hidup manusia di negara ini. Pengeluaran dan pemasukan harus disesuaikan dengan anggaran belanja setiap manusia, tentu itu dipengaruhi oleh harga pasar yang ada.
Misal, dengan UMP 1,5 juta sama halnya buruh digaji kurang lebih 50 ribu/hari. Sebagai buruh yang harus mengeluarkan ongkos perjalanan setiap harinya keperusahaan, memenuhi kebutuhan dapur, menyekolahkan anak dan membayar kontarakan rumah bahkan tagihan air dan listrik setiap bulannya. Jika dihitung apakah layak kurang lebih 50 ribu/hari? Kalau memang layak kenapa kita harus mengutuk tindakan perbudakan Belanda dan Jepang terhadap Romusa dan Jugun Ianfu. Kan sama saja perbudakan namanya, di gaji tapi tak cukup.
Jika kita memandang berdasarkan jabatan, tentu kita tidak mengakui adanya orang miskin di Indonesia. Tentu, tidak semua orang di Indonesia dapat menyekolahkan anaknya menjadi suster, dokter bahkan menjadi Drs. Karena masih pendidikan takaran di Indonesia untuk peluang kerja dan menentukan jabatan kerja. Jadi bagi mereka yang tidak berpendidikan dipantaskan menjadi Romusa kembali?. Bagaimana dengan di Eropa, buruh bergaji besar namun perusahaan tidak bangkrut bahkan semakin maju perusahaan dan negaranya.
Akumulasi modal merupakan dasar penyebabnya. Jika dikatakan pada tulisan sebelumnya pada perusahaan pakaian, setiap buruh dapat menyelesaikan pakaian 6-7 potong dan keuntungan hanya 20 ribu setelah menggaji buruh 50 ribu. Berarti dari tiap potongan baju keuntungan hanya sekitar 2.800 atau sekitar 14% dari keuntungan total. Tentu ini adalah teori yang keliru, sebab kita dapat melihat bagaimana setiap perusahaan melakukan over produksi, bahkan di hari-hari besar mereka akan melakukan discount dari 25% sampai 90%. Apakah perusahaan akan tetap untung dan tidak gulung tikar apabila keuntungan dari potongan baju hanya 14%? Sementara di hari besar tersebut permintaan konsumen lebih banyak.
Pemikiran atas “layak” sebelumnya tidak melewati sebuah nilai lebih yang di ciptakan kapital untuk melakukan akumulasi. Sehigga paham kapitalisme yang di tentang buruh pada tulisan sebelumnya adalah penilaian yang biasa dilalukan oleh pihak perusahaan. Jadi wajar buruh masih menuntut “kelayakan” mereka untuk memenuhi nafsu komsumtif manusia di Indonesia.

*Penulis aktif di gerakan sosial dan Ka.Divisi Penelitian dan Riset di Hutan Rakyat Institute (HaRI)
Share:

Jumat, 09 Mei 2014

Komunalisme Masyarakat dan Pemanfaatan Hutan


terbit di Harian Medan Bisnis 9 Mei 2014

*Boy Raja Pangihutan Marpaung
            Sejarah perkembangan manusia pada awalnya merupakan sejarah berkelompok atau yang sering disebut komunal atau gen masyarakat. Dari awal komunal primirif hingga menuju kemajuan berkelompok secara modern dan global yakni yang akhirnya bernegara seperti sekarang ini. Namun perubahan dalam hal memahami komunalisme pada diri masyarakat tidaklah secepat perubahan perkembangan bentuk komunal seperti konsep negara.
            Apalagi melihat wajah sebenarnya Indonesia yang beribu jenis gen masyarakat. Itu tentu dapat dilihat dari suku-suku yang memiliki perbedadaan dalam sikap  kebiasaan-kebiasaan komunalisme masing-masing. Namun meskipun ada perbedaan dalam sistem kebiasaannya, jika di bidang hal bertahan hidup semua gen di Indonesia hampirlah sama. Tidak ada gen masyarakat yang jauh dari pemanfaatan sumber daya alam. Misalnya jika yang berasal dari pesisir tentu memanfaatkan lautan sebagai sumber kehidupan dan yang berada di hutan tentu memanfaatkan hutan sebagai sumber kehidupan.
Hal ini lah yang mempersatukan seluruh gen masyarakat di Indonesia untuk melawan penjajahan Belanda yang telah merampas semua sumber daya alam yang juga mengancam keberlanjutan kehidupan setiap gen.

Komunalisme Masyarakat
Sekarang Indonesia sudalah merdeka dan menjadi sebuah negara yang menyambungkan setiap gen mayarakat yang dulu masih bersifat komunal primitif kini bersatu dan terkordinasi melalui setiap struktur negara tinggakat desa. Namun kebiasaan dalam hal komunalisme masyarakat tidak lah hilang begitu saja. Sebagian masyarakat masih lah mewarisi kebiasaan-kebiasaan itu dalam menjalankan gen baru yaitu tingkat desa.
Gen masyarakat ini saat ini sering di sebut sebagai Masyarakat adat. Masyarakat ini masih menggunakan kebiasaan i jaman gen dulu, terlihat dari sistem mereka bertahan hidup melalui pertanian dan adanya kerjasama bergantian untuk menyelesaikan setiap pengerjaan atau panen nya pertanian. Bukan hanya itu saja, masyarakat masih menganut hak kepemilikan adat seperti yang mereka sebutkan hutan adat dan tanah adat/ulayat. Itu merupakan lahan yang di miliki adat, setiap orang berhak mengelolah dan menggunakannya untuk menjadikannya sumber kehidupan asalkan tidak dijadikan milik pribadi dan tidak di jual.
Contoh masyarakat yang terdekat yang masih dapat kita temui yang masih menganut hal ini seperti masyarakat Batak Toba. Ada beberapa daerah seperti di Kabpaten Tobasamosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan dan Dairi. Mayoritas masyarakat di sini  masih mengnaut komunalisme seperti marsiadap ari (bekerja sama dengan seluruh masyarakat kampung untuk menyelesaikan pertanian secara bergantian), ada juga yang masih memanfaatkan hutan adat seperti hutan kemenyan di Humbahas dan beberapa desa di Tobasa dan Taput. Dan di akhir panen selesai, biasanya seluruh masyarakat desa merayakan hasil panen itu secara bersamaan dengan membuat pesta gondang naposo (gendang remaja).
Kebersamaan gen yang kini berubah sebutan dengan masyarakat ini tentu memiliki kebiasaan yang berbeda untuk menunjukan komunalisme mereka di setiap daerah. Ada kegiatan-kegiatan tertentu yang membuktikan bahwasanya komunalisme mereka itu tidak lah hilang begitu saja. Kalau di batak toba sendiri jangan heran ketika kita berada di salah satu kampung yang nama kampung itu adalah nama salah satu marga batak toba dan semua penghuninya bermarga kampung tersebut. Nah seperti itu lah gen itu muncul di daerah itu, adanya pembuka kampung yang memiliki marga dan membuat nama kampung itu dengan marga tersebut. Seperti biasannya kampung itu merupakan tanah adat yang dimiliki bersama oleh gen (marga) generasi pembuka kampung itu.

            Pemanfaatan Hutan
            Kehidupan yang tidak pernah terlepas dari alam tentu membuktikan bahwa tidak terpisahkannya masyarakat adat dari hutan. Beberapa kejadian di Indonesia yang ingin memisahkan masyarakat dengan hutan adat mereka seperti Suku Anak dalam di Jambi, Masarakat Humbahas dengan Kemenyan, masayarakat Taput di Parombuan dan Masyarakat Sulawesi selatan di Katu. Akhirnya kejadian seperti ini akan mengakibatkan terjadinya konflik antara masyarakat adat dengan pihak pemerintah maupun pihak perusahaan yang mendapatkan izin Hak Guna Usaha dari negara.
            Jika sang pembaca salah satu masyarakat adat, tentu masih mengingat mitos-mitos orang tua atau nenek kita dahulu, jika kita masuk hutan dan merusak huta, apalagi mengambil kayu bakar berlebihan, maka kita akan tersesat di hutan. Jika di generalisasikan dengan jaman sekarang tentu kita nalar kan kehadiran mitos tersebut agar kita tidak merusak hutan.  Namun kini setelah kelompok semkin besar yakni bernegara malah membuat kita semakin lemah untuk mempertahankan dan menjaga hutan-hutan adat tersebut.
            Tidak mungkin dipisahkan begitu saja, banyak masyarkat adat yang hidup dengan hutan dan bahkan mereka merawat dan sama sekali tidak merusaknya. Namun terpaksa di gusur secara kasar hanya karena pembangunan sebuah perusahaan tambang, perkebunan dan pembangunan-pembangunan property. Hilangnya pemanfatan hutan oleh masyarakat adat tersebut tentu akan mempengaruhi komunalismeyang ada di masyarakat itu sendiri. Bukan hanya itu saja, tentu menjadi sebuah penyebab hilang nya beberapa gen akibat digusur.
            Perlu dipahami, dari sejarah masyarakat Indonesia, sampai Indonesia sendiri yang menghilangkan sejarah masyarakatnya dengan cara tidak menghormati dan mengakui masyarakat adat tentu mengancam sejarah dan keberadaan Indonesia sendiri. Mungkin menjadi peringatan kepada Indonesia ketiga lahirnya gerakan- gerakan seperti Gerakan Aceh Merdeka, Operasi Papua Merdeka, Republik Maluku Selatan dan kini para akademisi Sumut sedang menggagas Sumut Merdeka.
            Pengakuan atas masyarakat dan adatnya, serta menghormati hak-hak adat mereka merupakan masadepan Indonesia yang lebik dan lebih utuh.
*Penulis adalah staf di Lembaga Penelitian dan Riset HaRI (Hutan Rakyat Institute)

Share:

Minggu, 06 April 2014

Pesan Belukar untuk Gadisku



Hei gadisku, 
Akan ku taruh bunga di telinga mu
Ku pilih, ku petik dan ku jamin
Bunga itu tanpa rekayasa genetika

Hei gadisku
Akan ku carikan hutan yang masih utuh
Di sela kasat mata mereka yang tak melihat
Yang tak di sentuh oleh gergaji kayu

Hei gadisku,
Akan ku carikan dataran tropis yang hijau
Tempat dimana bungamu tumbuh
Di sela pepohonan yang masih bersiamang
Mengikuti jalan atas perintah si kukang

Hei gadisku,
Akan ku telusuri katulistiwa berbukit
Melihat kijang akan mulai berlarian
Mengejar para burung penghisap madu

Hei gadisku,
Akan ku dapatkan senyum mu
Di balik penderitaan hutan yang melayu
Tangis tanah yang berkimia terpijak

Hei gadisku,
Akan kau dengar jelas cerita bunga di telinga mu
Di balik indah mekar kembangnya
Ada gumaman jerit saudara-saudaranya



Medan, 1 April 2014
#Harimonting
Share:

Selasa, 11 Februari 2014

Instrumen Penelitian Etnografi



Oleh Wina Khairina[1]


[1] Lampiran Tesis Wina Khairina, Konfik Agraria Desa Pergulaan VS PT. London Sumatera Indonesia Tbk, Tesis, sekolah Pasca Sarjana Antropologi Sosial, UNIMED, 2013, tidak di terbitkan. Disarikan dari Spradley, James, 1997. Metode Etnografi, Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yogya.



Terdapat 12 langkah didalam penelitian etnografi. Kedua belas langkah tersebut diuraikan dalam langkah berikut :
  1. Langkah ke 1; Menetapkan Seorang Informan.
Menentukan informan awal secara langsung sebagai informan kunci. Seorang informan kunci yang baik memiliki prasyarat (1) enkulturasi penuh didalam masyarakat, (2) keterlibatan langsung, (3) suasana budaya yang tidak dikenal, (4) waktu yang cukup, (5) non analitis. Tidak semua informan yang diwawancarai akan memenuhi prasyarat tersebut, namun seorang informan kunci harus memiliki kelimanya.

  1. Langkah ke 2; Melakukan Wawancara Dengan Informan.
Wawancara etnografis merupakan peristiwa percakapan (speech event) yang khusus. Ciri-ciri wawancara etnografis adalah :
(1)   Tujuan Eksplisit, arah wawancara yang disampaikan oleh etnografer kepada informan. Dengan adanya tujuan dan arah ini, maka percakapan cenderung lebih formal, etnografer dapat mengontrol pembicaraan sehingga temuan terhadap budaya informan bisa dilakukan.
(2)   Penjelasan etnografis, diantaranya (a) penjelasan tujuan proyek penelitian penggalian budaya, (b) penjelasan perekaman wawancara baik tulisan maupun digital, (c) penjelasan bahasa asli, mendorong informan  mengunakan suasana budaya informan sendiri, (d) penjelasan wawancara, terkait model wawancara yang akan dilakukan, misalnya pembuatan peta, menseleksi istilah dalam kartu, dll, (e) penjelasan pertanyaan yang digunakan.
(3)   Pertanyaan etnografis, terdiri dari (a) pertanyaan deskriftif, adalah pertanyaan yang minta informan menjelaskan/mendeskripsikan tentang suatu topic tertentu,  (b) pertanyaan structural yaitu pertanyaan yang memungkinkan etnografer untuk menemukan informasi domain unsure-unsur dasar dalam budaya seseorang, (c) pertanyaan kontras, digunakan untuk menemukan perbedaan antara berbagai objek atau topik maupun peristiwa didalam dunia informan.

  1. Langkah ke 3; Membuat Catatan Etnografis.
Catatan etnografis meliputi catatan lapangan, alat perekam, gambar, artefak, dan benda lain yang mendokumentasikan suasana budaya yang dipelajari. Catatan etnografis ini diambil dari berbagai peristiwa yang terjadi didalam masyarakat dalam suatu periode tertentu, yang meliputi  berbagai tanggapan informan  terhadap etnografer dengan berbagai pertanyaan, tes dan perlengkapannya. Pembuatan catatan etnografis melalui proses dari penemuan etnografis, ke membuat sebuah catatan etnografis, dan kemudian melakukan deskrifsi etnografis. Ketiga hal ini terjadi selama proses penelitian terus menerus. Didalam membuat catatan etnografis ini, bisa mengunakan (a) prinsip identifikasi bahasa dan (b) prinsif harfiah, keduanya mempunyai tujuan tunggal yaitu mengurangi pengaruh kepandaian etnografer untuk menerjemahkan ketika membuat catatan etnografis. Beberapa jenis catatan lapangan antara lain : laporan ringkas, (b) laporan diperluas, (c)jurnal penelitian lapangan.

  1. Langkah ke 4; Mengajukan Pertanyaan Deskriptif.
Wawancara etnografis meliputi proses mengembangkan hubungan dan memperoleh informasi. Proses ini saling melengkapi , dengan terbangunnya hubungan, maka informan terdorong untuk menceritakan budaya yang dimilikinya. Sehingga informasi yang dibuthkan oleh etnografer bisa didapatkan. Dalam proses ini melewati tahapan keprihatinan – penjajagan – kerjasama – partisipasi.

  1. Langkah ke 5; Melakukan Analisis Wawancara Etnografis.
Analisis terhadap data wawancara harus dilakukan sebelum melakukan wawancara berikutnya. Analisis etnografis merujuk pada pengujian sistematis terhadap sesuatu yang menentukan bagian-bagiannya, hubungan diantara bagian-bagian, serta hubungan bagian-bagian itu dengan keseluruhannya, yang mengarah pada penemuan kerangka pengetahuan budaya. Ada banyak cara untuk menganalisis suatu fonemena. Domain adalah kategorisimbolik yang mencakup kategori-kategori lain. Sebuah domain terdiri dari batas, istilah tercakup, hubungan semantic dan istilah pencakup.

  1. Langkah ke 6; Membuat Analisis Domain
Ada beberapa langkah yang bisa digunakan dalam melakukan analisis domain :
(a)    Langkah 1, Memilih satu hubungan semantic tunggal, yaitu memulai dengan melihat hubungan semantic universal, kemudian focus pada kata benda dan pada kata kerja.
(b)   Langkah 2, Mempersiapkan Satu Lembar Kerja Analisis Domain, yaitu upaya memvisualisasikan istilah pencakup, hubungan semantic, istilah tercakup dan batas. Bisa dengan kertas kerja tersendiri untuk memasukkan informasi tertentu sebelum memulai pencarian yaitu (1) hubungan semantic yang dipilih, (2) statement dalam bentuk yang di ekspresikan, (3) contoh dari budaya anda kalimat yang memiliki istilah tercakup, hubungan semantic dan satu istilah pencakup
(c)    Langkah 3, Memilih satu sampel dari statement informan, yaitu pernyataan informan secara harfiah, bahkan fragmen-fragment pembicaraan dengan informan  secara partisipasi.
(d)   Langkah 4, Mencari sitilah pencakup dan istilah tercakup yang memungkinkan dan sesuai dengan hubungan semantic.
(e)    Langkah 5, Memformulasikan pertanyaan-pertanyaan structural untuk masing-masing domain.
(f)    Langkah 6, Membuat daftar untuk semua domain yang dihipotesiskan.

  1. Langkah ke 7; Mengajukan Pertanyaan Struktural.
Pertanyaan structural harus mempertimbangkan (a) prinsip konkuren yaitu bahwa yangpaling baik adalah mengganti berbagai type pertanyaan dalam masing-masing wawancara , (b) prinsip penjelasan, yaitu pertanyaan yang seringkali menuntut penjelasan, (c) prinsip pengulangan yaitu pertanyaan structural yang harus di ulang-ulang berkali-kali untuk memperoleh semua istilah tercakup dalam sebuah domain, (d) prinsip konteks yaitu informasi yang diberikan etnografer ketika mengajukanpertanyaan structural dalam rangka memberikan setting dimana domain itu menjaid relevan, (e) prinsip kerangka kerja budaya yaitu memastikan bahwa pertanyaan-pertanyaan structural yang diajukan harus dalam konteks budaya informan.  Harus diingat bahwa pertanyaan structural ini melengkapi bukan menggantikan pertanyaan deskriptif.

Type pertanyaan structural terdiri dari (a) pertanyaan pembuktian (b) pertanyaan istilah pencakup, (c) pertanyaan istilah tercakup, (d) pertanyaan kerangka substansi. Dari pertanyaan structural ini, sering menghasilkan daftar istilah-istilah penduduk asli. Sangat baik bila dituliskan pada kartu, kemudian dapat melakukan tri angulasi kepada informan.

  1. Langkah ke 8; Membuat Analisis Taksonomik.
Analisis taksonomik dilakukan untuk mengidentifikasi subset-subset dalam sebuah domain dan berbagai hubungan diantara subset tersebut. Dengan melakukan analisa taksonomik, maka kita akan menemukan struktur internal sebuah domain.

  1. Langkah ke 9; Mengajukan Pertanyaan Kontras.
Dari hasil analisis taksonomi diperoleh takson-takson. Berdasar dari takson-takson yang ada, dilakukan penelitian selanjutnya dengan mengajukan pertanyaan kontras kepada informan untuk mencari hubungan antara domain yang satu dengan domain yang lain, dan untuk mencari perbedaan-perbedaannya. Dengan mengetahui perbedaan tersebut, maka etnografer dapat memperoleh makna menyeluruh tentang informasi dari para informan.

  1. Langkah ke10, Membuat Analisis Komponen.
Analisis komponen merupakan suatu pencarian sistematik berbagai atribut (komponen makna) yang berhubungan dengan simbol-simbol budaya. Dalam analisis komponen, meliputi keseluruhan proses pencarian berbagai kontras, pemilihan berbagai kontras, mengelompokkannya sebagai dimensi kontras, danmemasukkan semua itu kedalam sebuah paradigm. Dengan kata lain, dari hasil pertanyaan kontras, peneliti menganalisis komponen-komponen yang terdapat didalam domain-domain. Dalam analisis komponen ini dipersiapkan lembar paradigma untuk mencari komponen menurut karakteristik dari setiap domain.

  1. Langkah ke 11; Menemukan Thema-Thema Budaya
Spradley mendefinisikan tema budaya sebagai prinsip kognitif yang bersifat tersirat maupun tersurat, berulang dalam sejumlah domain dan berperan sebagai suatu hubungan diantara berbagai sub sistem makna budaya. Untuk itu, tema-tema budaya memiliki (a) prinsip kognitif, yaitu peta kognitif yang membentuk suatu kebudayaan, (b) tersirat atau tersurat, yaitu yang tampak seperti pribahasa rakyat, motto, pepatah, atau ekspresi berulang, (c) tema sebagai hubungan,  yaitu menghubungkan berbagai sub system didalam kebudayaan.

  1. Langkah ke 12; Menulis Sebuah Etnografi
Cara terbaik untuk menulis sebuah etnografi adalah dengan membaca etnografi lain. Untuk itu, kita harus memilih etnografi yang ditulis dengan cara membuat budaya itu hidup sehinga membuat pembaca memahami orang-orang serta cara mereka hidup. Membaca etnografi yang baik selama proses penulisan, secara tidak langsung akan membuat tulisan kita membaik  tanpa kita sadari.

Beberapa tahapan pembuatan etnografi : Tahap 1, Statement-statement universal, (b) Tahap 2, Statement-statement deskriftif lintas budaya, (c) Tahap 3, Statement umum mengenai suatu masyarakat atau kelompok budaya, (d) Tahap 4, Statement umum mengenai suatu suasana budaya, (e) Tahap 5, Statement spesifik mengenai sebuah domain budaya dan (f) Tahap 6, Statement insiden sfesifik.
 Terdapat 12 langkah didalam penelitian etnografi. Kedua belas langkah tersebut diuraikan dalam langkah berikut :
  1. Langkah ke 1; Menetapkan Seorang Informan.
Menentukan informan awal secara langsung sebagai informan kunci. Seorang informan kunci yang baik memiliki prasyarat (1) enkulturasi penuh didalam masyarakat, (2) keterlibatan langsung, (3) suasana budaya yang tidak dikenal, (4) waktu yang cukup, (5) non analitis. Tidak semua informan yang diwawancarai akan memenuhi prasyarat tersebut, namun seorang informan kunci harus memiliki kelimanya.

  1. Langkah ke 2; Melakukan Wawancara Dengan Informan.
Wawancara etnografis merupakan peristiwa percakapan (speech event) yang khusus. Ciri-ciri wawancara etnografis adalah :
(1)   Tujuan Eksplisit, arah wawancara yang disampaikan oleh etnografer kepada informan. Dengan adanya tujuan dan arah ini, maka percakapan cenderung lebih formal, etnografer dapat mengontrol pembicaraan sehingga temuan terhadap budaya informan bisa dilakukan.
(2)   Penjelasan etnografis, diantaranya (a) penjelasan tujuan proyek penelitian penggalian budaya, (b) penjelasan perekaman wawancara baik tulisan maupun digital, (c) penjelasan bahasa asli, mendorong informan  mengunakan suasana budaya informan sendiri, (d) penjelasan wawancara, terkait model wawancara yang akan dilakukan, misalnya pembuatan peta, menseleksi istilah dalam kartu, dll, (e) penjelasan pertanyaan yang digunakan.
(3)   Pertanyaan etnografis, terdiri dari (a) pertanyaan deskriftif, adalah pertanyaan yang minta informan menjelaskan/mendeskripsikan tentang suatu topic tertentu,  (b) pertanyaan structural yaitu pertanyaan yang memungkinkan etnografer untuk menemukan informasi domain unsure-unsur dasar dalam budaya seseorang, (c) pertanyaan kontras, digunakan untuk menemukan perbedaan antara berbagai objek atau topik maupun peristiwa didalam dunia informan.

  1. Langkah ke 3; Membuat Catatan Etnografis.
Catatan etnografis meliputi catatan lapangan, alat perekam, gambar, artefak, dan benda lain yang mendokumentasikan suasana budaya yang dipelajari. Catatan etnografis ini diambil dari berbagai peristiwa yang terjadi didalam masyarakat dalam suatu periode tertentu, yang meliputi  berbagai tanggapan informan  terhadap etnografer dengan berbagai pertanyaan, tes dan perlengkapannya. Pembuatan catatan etnografis melalui proses dari penemuan etnografis, ke membuat sebuah catatan etnografis, dan kemudian melakukan deskrifsi etnografis. Ketiga hal ini terjadi selama proses penelitian terus menerus. Didalam membuat catatan etnografis ini, bisa mengunakan (a) prinsip identifikasi bahasa dan (b) prinsif harfiah, keduanya mempunyai tujuan tunggal yaitu mengurangi pengaruh kepandaian etnografer untuk menerjemahkan ketika membuat catatan etnografis. Beberapa jenis catatan lapangan antara lain : laporan ringkas, (b) laporan diperluas, (c)jurnal penelitian lapangan.

  1. Langkah ke 4; Mengajukan Pertanyaan Deskriptif.
Wawancara etnografis meliputi proses mengembangkan hubungan dan memperoleh informasi. Proses ini saling melengkapi , dengan terbangunnya hubungan, maka informan terdorong untuk menceritakan budaya yang dimilikinya. Sehingga informasi yang dibuthkan oleh etnografer bisa didapatkan. Dalam proses ini melewati tahapan keprihatinan – penjajagan – kerjasama – partisipasi.

  1. Langkah ke 5; Melakukan Analisis Wawancara Etnografis.
Analisis terhadap data wawancara harus dilakukan sebelum melakukan wawancara berikutnya. Analisis etnografis merujuk pada pengujian sistematis terhadap sesuatu yang menentukan bagian-bagiannya, hubungan diantara bagian-bagian, serta hubungan bagian-bagian itu dengan keseluruhannya, yang mengarah pada penemuan kerangka pengetahuan budaya. Ada banyak cara untuk menganalisis suatu fonemena. Domain adalah kategorisimbolik yang mencakup kategori-kategori lain. Sebuah domain terdiri dari batas, istilah tercakup, hubungan semantic dan istilah pencakup.

  1. Langkah ke 6; Membuat Analisis Domain
Ada beberapa langkah yang bisa digunakan dalam melakukan analisis domain :
(a)    Langkah 1, Memilih satu hubungan semantic tunggal, yaitu memulai dengan melihat hubungan semantic universal, kemudian focus pada kata benda dan pada kata kerja.
(b)   Langkah 2, Mempersiapkan Satu Lembar Kerja Analisis Domain, yaitu upaya memvisualisasikan istilah pencakup, hubungan semantic, istilah tercakup dan batas. Bisa dengan kertas kerja tersendiri untuk memasukkan informasi tertentu sebelum memulai pencarian yaitu (1) hubungan semantic yang dipilih, (2) statement dalam bentuk yang di ekspresikan, (3) contoh dari budaya anda kalimat yang memiliki istilah tercakup, hubungan semantic dan satu istilah pencakup
(c)    Langkah 3, Memilih satu sampel dari statement informan, yaitu pernyataan informan secara harfiah, bahkan fragmen-fragment pembicaraan dengan informan  secara partisipasi.
(d)   Langkah 4, Mencari sitilah pencakup dan istilah tercakup yang memungkinkan dan sesuai dengan hubungan semantic.
(e)    Langkah 5, Memformulasikan pertanyaan-pertanyaan structural untuk masing-masing domain.
(f)    Langkah 6, Membuat daftar untuk semua domain yang dihipotesiskan.

  1. Langkah ke 7; Mengajukan Pertanyaan Struktural.
Pertanyaan structural harus mempertimbangkan (a) prinsip konkuren yaitu bahwa yangpaling baik adalah mengganti berbagai type pertanyaan dalam masing-masing wawancara , (b) prinsip penjelasan, yaitu pertanyaan yang seringkali menuntut penjelasan, (c) prinsip pengulangan yaitu pertanyaan structural yang harus di ulang-ulang berkali-kali untuk memperoleh semua istilah tercakup dalam sebuah domain, (d) prinsip konteks yaitu informasi yang diberikan etnografer ketika mengajukanpertanyaan structural dalam rangka memberikan setting dimana domain itu menjaid relevan, (e) prinsip kerangka kerja budaya yaitu memastikan bahwa pertanyaan-pertanyaan structural yang diajukan harus dalam konteks budaya informan.  Harus diingat bahwa pertanyaan structural ini melengkapi bukan menggantikan pertanyaan deskriptif.

Type pertanyaan structural terdiri dari (a) pertanyaan pembuktian (b) pertanyaan istilah pencakup, (c) pertanyaan istilah tercakup, (d) pertanyaan kerangka substansi. Dari pertanyaan structural ini, sering menghasilkan daftar istilah-istilah penduduk asli. Sangat baik bila dituliskan pada kartu, kemudian dapat melakukan tri angulasi kepada informan.

  1. Langkah ke 8; Membuat Analisis Taksonomik.
Analisis taksonomik dilakukan untuk mengidentifikasi subset-subset dalam sebuah domain dan berbagai hubungan diantara subset tersebut. Dengan melakukan analisa taksonomik, maka kita akan menemukan struktur internal sebuah domain.

  1. Langkah ke 9; Mengajukan Pertanyaan Kontras.
Dari hasil analisis taksonomi diperoleh takson-takson. Berdasar dari takson-takson yang ada, dilakukan penelitian selanjutnya dengan mengajukan pertanyaan kontras kepada informan untuk mencari hubungan antara domain yang satu dengan domain yang lain, dan untuk mencari perbedaan-perbedaannya. Dengan mengetahui perbedaan tersebut, maka etnografer dapat memperoleh makna menyeluruh tentang informasi dari para informan.

  1. Langkah ke10, Membuat Analisis Komponen.
Analisis komponen merupakan suatu pencarian sistematik berbagai atribut (komponen makna) yang berhubungan dengan simbol-simbol budaya. Dalam analisis komponen, meliputi keseluruhan proses pencarian berbagai kontras, pemilihan berbagai kontras, mengelompokkannya sebagai dimensi kontras, danmemasukkan semua itu kedalam sebuah paradigm. Dengan kata lain, dari hasil pertanyaan kontras, peneliti menganalisis komponen-komponen yang terdapat didalam domain-domain. Dalam analisis komponen ini dipersiapkan lembar paradigma untuk mencari komponen menurut karakteristik dari setiap domain.

  1. Langkah ke 11; Menemukan Thema-Thema Budaya
Spradley mendefinisikan tema budaya sebagai prinsip kognitif yang bersifat tersirat maupun tersurat, berulang dalam sejumlah domain dan berperan sebagai suatu hubungan diantara berbagai sub sistem makna budaya. Untuk itu, tema-tema budaya memiliki (a) prinsip kognitif, yaitu peta kognitif yang membentuk suatu kebudayaan, (b) tersirat atau tersurat, yaitu yang tampak seperti pribahasa rakyat, motto, pepatah, atau ekspresi berulang, (c) tema sebagai hubungan,  yaitu menghubungkan berbagai sub system didalam kebudayaan.

  1. Langkah ke 12; Menulis Sebuah Etnografi
Cara terbaik untuk menulis sebuah etnografi adalah dengan membaca etnografi lain. Untuk itu, kita harus memilih etnografi yang ditulis dengan cara membuat budaya itu hidup sehinga membuat pembaca memahami orang-orang serta cara mereka hidup. Membaca etnografi yang baik selama proses penulisan, secara tidak langsung akan membuat tulisan kita membaik  tanpa kita sadari.

Beberapa tahapan pembuatan etnografi : Tahap 1, Statement-statement universal, (b) Tahap 2, Statement-statement deskriftif lintas budaya, (c) Tahap 3, Statement umum mengenai suatu masyarakat atau kelompok budaya, (d) Tahap 4, Statement umum mengenai suatu suasana budaya, (e) Tahap 5, Statement spesifik mengenai sebuah domain budaya dan (f) Tahap 6, Statement insiden sfesifik.

Share:

BTemplates.com

Generasi Padi

Generasi Padi
Nassau

Total Tayangan Halaman

Rumah Kami

Rumah Kami
Porsea
@barunkbijiapikatamata. Diberdayakan oleh Blogger.

Mata yang Berbicara

Mata yang Berbicara
Canon 600D

Daftar Blog Saya

Translate

Pengikut

Labels