terbit di Harian Medan Bisnis 9 Mei 2014
*Boy Raja Pangihutan
Marpaung
Sejarah perkembangan manusia pada awalnya merupakan
sejarah berkelompok atau yang sering disebut komunal atau gen masyarakat. Dari
awal komunal primirif hingga menuju kemajuan berkelompok secara modern dan
global yakni yang akhirnya bernegara seperti sekarang ini. Namun perubahan
dalam hal memahami komunalisme pada diri masyarakat tidaklah secepat perubahan
perkembangan bentuk komunal seperti konsep negara.
Apalagi melihat wajah sebenarnya Indonesia yang beribu
jenis gen masyarakat. Itu tentu dapat dilihat dari suku-suku yang memiliki
perbedadaan dalam sikap
kebiasaan-kebiasaan komunalisme masing-masing. Namun meskipun ada
perbedaan dalam sistem kebiasaannya, jika di bidang hal bertahan hidup semua
gen di Indonesia hampirlah sama. Tidak ada gen masyarakat yang jauh dari
pemanfaatan sumber daya alam. Misalnya jika yang berasal dari pesisir tentu
memanfaatkan lautan sebagai sumber kehidupan dan yang berada di hutan tentu
memanfaatkan hutan sebagai sumber kehidupan.
Hal
ini lah yang mempersatukan seluruh gen masyarakat di Indonesia untuk melawan
penjajahan Belanda yang telah merampas semua sumber daya alam yang juga
mengancam keberlanjutan kehidupan setiap gen.
Komunalisme Masyarakat
Sekarang
Indonesia sudalah merdeka dan menjadi sebuah negara yang menyambungkan setiap
gen mayarakat yang dulu masih bersifat komunal primitif kini bersatu dan
terkordinasi melalui setiap struktur negara tinggakat desa. Namun kebiasaan
dalam hal komunalisme masyarakat tidak lah hilang begitu saja. Sebagian
masyarakat masih lah mewarisi kebiasaan-kebiasaan itu dalam menjalankan gen
baru yaitu tingkat desa.
Gen
masyarakat ini saat ini sering di sebut sebagai Masyarakat adat. Masyarakat ini
masih menggunakan kebiasaan i jaman gen dulu, terlihat dari sistem mereka
bertahan hidup melalui pertanian dan adanya kerjasama bergantian untuk
menyelesaikan setiap pengerjaan atau panen nya pertanian. Bukan hanya itu saja,
masyarakat masih menganut hak kepemilikan adat seperti yang mereka sebutkan
hutan adat dan tanah adat/ulayat. Itu merupakan lahan yang di miliki adat,
setiap orang berhak mengelolah dan menggunakannya untuk menjadikannya sumber
kehidupan asalkan tidak dijadikan milik pribadi dan tidak di jual.
Contoh
masyarakat yang terdekat yang masih dapat kita temui yang masih menganut hal
ini seperti masyarakat Batak Toba. Ada beberapa daerah seperti di Kabpaten
Tobasamosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan dan Dairi. Mayoritas masyarakat
di sini masih mengnaut komunalisme
seperti marsiadap ari (bekerja sama
dengan seluruh masyarakat kampung untuk menyelesaikan pertanian secara
bergantian), ada juga yang masih memanfaatkan hutan adat seperti hutan kemenyan
di Humbahas dan beberapa desa di Tobasa dan Taput. Dan di akhir panen selesai,
biasanya seluruh masyarakat desa merayakan hasil panen itu secara bersamaan
dengan membuat pesta gondang naposo (gendang
remaja).
Kebersamaan
gen yang kini berubah sebutan dengan masyarakat ini tentu memiliki kebiasaan
yang berbeda untuk menunjukan komunalisme mereka di setiap daerah. Ada
kegiatan-kegiatan tertentu yang membuktikan bahwasanya komunalisme mereka itu
tidak lah hilang begitu saja. Kalau di batak toba sendiri jangan heran ketika
kita berada di salah satu kampung yang nama kampung itu adalah nama salah satu
marga batak toba dan semua penghuninya bermarga kampung tersebut. Nah seperti
itu lah gen itu muncul di daerah itu, adanya pembuka kampung yang memiliki
marga dan membuat nama kampung itu dengan marga tersebut. Seperti biasannya
kampung itu merupakan tanah adat yang dimiliki bersama oleh gen (marga)
generasi pembuka kampung itu.
Pemanfaatan Hutan
Kehidupan yang
tidak pernah terlepas dari alam tentu membuktikan bahwa tidak terpisahkannya
masyarakat adat dari hutan. Beberapa kejadian di Indonesia yang ingin
memisahkan masyarakat dengan hutan adat mereka seperti Suku Anak dalam di
Jambi, Masarakat Humbahas dengan Kemenyan, masayarakat Taput di Parombuan dan
Masyarakat Sulawesi selatan di Katu. Akhirnya kejadian seperti ini akan
mengakibatkan terjadinya konflik antara masyarakat adat dengan pihak pemerintah
maupun pihak perusahaan yang mendapatkan izin Hak Guna Usaha dari negara.
Jika sang pembaca salah satu masyarakat adat, tentu masih
mengingat mitos-mitos orang tua atau nenek kita dahulu, jika kita masuk hutan
dan merusak huta, apalagi mengambil kayu bakar berlebihan, maka kita akan
tersesat di hutan. Jika di generalisasikan dengan jaman sekarang tentu kita
nalar kan kehadiran mitos tersebut agar kita tidak merusak hutan. Namun kini setelah kelompok semkin besar
yakni bernegara malah membuat kita semakin lemah untuk mempertahankan dan
menjaga hutan-hutan adat tersebut.
Tidak mungkin dipisahkan begitu saja, banyak masyarkat
adat yang hidup dengan hutan dan bahkan mereka merawat dan sama sekali tidak
merusaknya. Namun terpaksa di gusur secara kasar hanya karena pembangunan
sebuah perusahaan tambang, perkebunan dan pembangunan-pembangunan property.
Hilangnya pemanfatan hutan oleh masyarakat adat tersebut tentu akan
mempengaruhi komunalismeyang ada di masyarakat itu sendiri. Bukan hanya itu
saja, tentu menjadi sebuah penyebab hilang nya beberapa gen akibat digusur.
Perlu dipahami, dari sejarah masyarakat Indonesia, sampai
Indonesia sendiri yang menghilangkan sejarah masyarakatnya dengan cara tidak
menghormati dan mengakui masyarakat adat tentu mengancam sejarah dan keberadaan
Indonesia sendiri. Mungkin menjadi peringatan kepada Indonesia ketiga lahirnya
gerakan- gerakan seperti Gerakan Aceh Merdeka, Operasi Papua Merdeka, Republik
Maluku Selatan dan kini para akademisi Sumut sedang menggagas Sumut Merdeka.
Pengakuan atas masyarakat dan adatnya, serta menghormati
hak-hak adat mereka merupakan masadepan Indonesia yang lebik dan lebih utuh.
*Penulis
adalah staf di Lembaga Penelitian dan Riset HaRI (Hutan Rakyat Institute)
0 komentar:
Posting Komentar