Terbit di Harian Analisa Sabtu, 2 Agustus 2014
*Boy Raja Pangihutan Marpaung
Banyak yang bilang, nuklir
adalah senjata paling mematikan di dunia. Kekuatan dan dampaknya dapat
menghancurkan dunia beserta isinya. Namun, hal ini tak berlaku bagi para EZLN
(kelompok pembebasan di Meksiko). Senjata paling mematikan bagi mereka adalah
kata-kata. Dengan kata, dunia yang ada saat ini tercipta. Segala sesuatu ada
karena kata. Dengan kata, pengetahuan seseorang dapat terisi.
Seperti yang diutarakan filsuf Perancis, Michael
Foucault, power is knowledge. Hal ini juga ditegaskan Subcomandante Marcos
(Pemimpin EZLN), senjata utama mereka adalah kata yang bisa mengubah dunia
berserta isinya. “Kata adalah senjata,” tegasnya.
Buku
berjudul Our Word Is Our Weapon yang dituliskan Marcos sangat menginspirasi
para pengikutnya. Mereka menganggap salah satunya alat yang sangat membahayakan
karena tajam nya kata itu.. Kata- kata yang dikeluaarkan dari mulut itu semua
memiliki makna dan setiap kalimat yang dilontarkan memiliki maksud.
Ketajaman
kata yang dimaksudkan dalam hal ini tentu memiliki arti yang mendalam. Memiliki
sebuah makna yang sangat luar biasa dan memiliki maksud untuk mendapatkan
sasaran dari kata yang dilontarkan. Begitu juga dengan kalimat, tidak lagi sebuah
gabungan kata yang di rangkai menjadi indah bunyinya, melainkan beberapa
kata-kata yang memiliki makna dan di gabunngkan menjadi memiliki maksud tertentu untuk tujuan
tertentu berdasarkan kebenaran.
Kekuatan
Dalam Tulisan
Hal ini tentu
mengingat kan kita yang sering menggunakan kata dan kalimat untuk menggambarkan
suatu atau menyampaikan bahkan mengkritik sesuatu. Bagaimana sebuah kata dan
kalimat yang kita keluarkan merupakan
kekuatan yang kita miliki dalam hal yang menujukan suatu penyampaian yang kita
perjuangkan. Itulah yang dimaksudkan dengan writing
is power.
Kata dan kalimat
yang kita gunakan untuk menuliskan sesuatu, harus memliki sebuah makana dan
tujuan yang memang didasari dari hal sebuah realitas. Sebab realitas dalam
sebuah tulisan itu merupakan sebuah kekuatan. Kekuatan untuk mengkritik,
menyampaikan, dan penggambaran. Hal ini akan mendorong bagaimana maksud dari
tulisan itu mengarah kemana.
Menulis tanpa
mendapatkan realitas sesungguhnya tentu akan mengurangi dan bahkan membuat
tuisan itu menjadi tumpul dan tidak memiliki kekuatan. Spontanitas merupakan
penyebab dari hal tersebut. Tanpa melakukan proses praksis
(Refrensi-Diskusi-Refleksi-Aksi-Evaluasi) sudah langsung dapat menyimpulkan
sesuatu.
Mencegah hal
tersebut, maka perlunya para penggiat tulisan mendekatkan diri kepada realitas,
karena tanpa dibarengi dengan realitas tulisan itu sama sekali tidak menggigit.
Kita tentu memiliki sasaran tulisan yang menunjukkan kepada siapa kita akan
tujukan tulisan tersebut. Misalnya kita mengarahkan tulisan yang berbentuk
kampanye kepada masyarakat awam, tentu kita harus tahu, bagaimana gaya bahasa
yang harus kita lontarkan dalam tulisan agar masyarakat awam itu mengerti
terhadap seruan dalam tulisan kita.
Hal ini juga menggambarkan kita
sebagai penulis, seberapa pahamnya kita tentang apa yang telah kita tulis.
Banyaknya kebutuhan ilmu pengetahuan merupakan dasar dari menulis, sehingga
harus banyak pula yang kita ketahui tentang apa yang kita tulis melalui
realitas sosial yang kita hadapi dan tidak lupa dengan membaca.
Belajar dari Pendahulu
Sangat
banyak para pejuang terdahulu yang menggunakan tulisan sebagai kekuatan untuk
merealisasikan dan mengkampanyekan sesuatu yang diperjuangkan mereka. Mereka merealisasikannya melalui
tulisan-tulisan, baik berbentuk pucukan surat, puisi, novel dan bahkan
menuliskan buku, seperti Marcos.
Soekarno, proklamator Indonesia yang
menulis di media-media cetak untuk melawan penjajahan Belanda,
tulisan-tulisannya sekarang menjadi buku “Dibawah Bendera Revolusi”. Ia
mengatakan jangan sekali-sekali melupakan sejarah, sebab barang siapa yang
melupakan sejarah bangsanya, maka akan lupa pula untuk memajukan negaranya.
Pramoedy
Ananta Taoer, seorang sastrawan yang telah menulis lebih dari 50 buku, dalam
buku-bukunya. Dia melontarkan kritik –kritik politik dalam tulisannya, di juga
memperjuangkan humanisme dalam budaya-budaya feodal yang masih di terapkan di Jawa,
serta kampanye kekejaman penjajahan Jepang di Indonesia.Setiap tulisannya
memiliki sejarah realitas yang dihadapinya sendiri. Pram mengatakan “Menulislah
maka engkau akan tahu sejarah mu”.
Voltaire, merupakan seorang pengarang,
sejarawan, pengacara dan filsuf ternama Perancis, ia terkenal karena telah
menulis lebih dari 20 ribu surat dan 2 ribu buku dan pamfle. Dia pejuang
Humanisme pra meledaknya revolusi Prancis melalui gagasan-gagasan dalam
tulisannya. Dia berkata “Ok, ok, teman saya yang baik, sekarang bukan waktunya
untuk membuat musuh”.
Ernesto Guavara,
seorang Revolusioner dari Argentina yang melakukan pembebasan rakyat Cuba. Dia
selalu menuliskan di buku hariannya yang saat ini sangat terkenal dan menulis
surat-surat pada kaum muda. Dia berkata kepada tema grilyanya “Tidakkah kau
membaca, paling tidak menulis diary mu, kalau kau tidak melakukannya, lebih baik kau berada di rumah mu”
Inilah para pendahulu ternyata berjuang
berdasarkan inteligensia mereka, dari praktek hingga gagasan-gagasan
yang mereka keluarkan berdasarkan realitas yang mereka rasakan dengan nyata di
tuangkan juga kedalam bentuk tulisan, dan memiliki sasaran serta target
tertentu. Mereka membuktikan juga bahwasanya tuslisan-tulisan yang mereka
ciptakan memiliki nilai-nilai yang menjadi kekuatan dalam perjuangan mereka.
Jadi sudah waktunya kita menulis
dengan hal yang berangkat dari realitas agar menciptakan realitas baru, dan
tulisan kita itu memiliki kekuatan, dan bukan lagi retorika belaka, antara
praktek dan gagasan yang kita keluarkan seimbang. Antara ide dan perjuangan memiliki
sasaran dan target yang jelas serta memiliki maksud yang jelas dalam tulisan
akan menjadi kekuatan untuk menciptakan apa yang kita inginkan dari tulisan itu.
Penulis
aktif dalam gerakan sosial dan
Ka.Divisi Investigasi & Riset di
Hutan Rakyat Institute (HaRI)
0 komentar:
Posting Komentar