BOY RAJA P. MARPAUNG, SH & REKAN

Kamis, 07 November 2013

Hijau untuk Masa Depan

 dimuat di Harian Analisa pada 31 Aug 2013
 Oleh: Boy Raja Pangihutan Marpaung.

 Mengapa tanahku rawan ini
 bukit bukit telanjang berdiri 
pohon dan rumput enggan bersemi kembali 
burung-burung pun malu bernyanyi 
kuingin bukitku hijau kembali 
semenung pun tak sabar menanti 
doa kan kuucapkan hari demi hari 
kapankah hati ini kapan lagi (Gombloh 1982)

Penggalan lagu yang berjudul “Berita Cuaca” yang diciptakan Gombloh ini merupakan salah satu lagu yang menggambarkan bagaimana kondisi bumi kita tahun 1982, dan sudah 31 tahun umur lagu ini, semakin baik kah bumi kita atau semakin parah? Persoalan lingkungan bukan lagi persoalan sektoral suatu daerah, melainkan sudah menjadi persoalan yang mengglobal dan sangat penting. Antara manusia sebagai makhluk hidup dan alam semesta sebagai sumber kebutuhan untuk hidup. Saling ketergantungan yang seharusnya juga saling menguntungkan. Manusia menikmati alam semesta dan alam semesta menyediakan sumber daya. Manusia menciptakan alam semesta baru dengan cara menanam kembali untuk menjaga populasi alam semesta serta merawatnya, demikian alam semesta tetap berproduksi. 

Ketergantungan hidup antara manusia dengan alam tentu tidak akan pernah terpisahkan. Perkembangan penghasilan sumber daya alam itu juga didorong oleh perkembangan kebutuhan manusia untuk bertahan hidup. Pentingnya alam bagi manusia tentu sepenting manusia menjaga alam tersebut.

 Keterlibatan Korporasi 

Indonesia mendapat gelar negara dari negara asing dengan bahasa-bahasa lingkungan seperti negara agraris dan negara bahari. Gelar ini tentu dilihat dari struktur dan kondisi alam yang sesuai dengan Indonesia yang sebenarnya. Namun yang menjadi persoalan, sudahkah Indonesia menjaga dan melestarikan keindahan alam sesuai dengan keindahan gelar yang didapat itu? 
Menjawab pertanyaan di atas tentu kita mengatakan “belum” dan mungkin kita dapat menyebutkan ketidak sesuaiannya kelestarian alam dengan gelar yang disandangkan kepada Indonesia. Pesoalan-persoalan lingkungan semakin meningkat dan semakin menyebar di negeri ini seiring dengan semakin besarnya korporasi di negeri ini. 

Keterlibatan suatu korporasi tentu berhubungan, dimana suatu perusahaan membutuhkan bahan mentah untuk bahan produksi dan menghasilkan barang jadi atau hasil produksi. Bahan mentah atau bahan produksi tentu berasal dari hasil produksi alam. Hal ini yang menyebabkan kebutuhan suatu perusahaan untuk slalu menghasilkan hasil produksi yang akhirnya memaksakan alam untuk berproduksi bahan mentah yang berujung kepada kerusakan lingkungan.

 Belum terhapus dari ingatan kita bulan Juni yang lalu masalah asap Riau yang sampai saat ini belum selesai. Kebakaran atau dibakarnya hutan menjadi salah satu koreksi bagi kita. Bukan persoalan asap yang ditimbulkan kebakaran saat ini, namun tujuan pembakaran hutan tersebutlah yang menjadi koreksi. Populasi tanaman di kawasan hutan tersebut tentu hilang dan apakah pengganti tanaman hutan itu tetap pada populasi tanaman atau berubah dengan kelapa sawit. Ini merupakan salah satu modus alih fungsi lahan yang paling sering dilakukan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Alih fungsi lahan ini bukan hanya menghabisi populasi tanaman pada hutan, melainkan populasi hewan yang berada di hutan dan juga kesuburan tanah hutan tersebut. 

Hutan mangrove di Papua, Gorontalo, Tanjung Pinang. Kemenyan di Sumatera Utara, dan hutan Kalimantan yang disulap menjadi perkebunan kelapa sawit. Pada populasi hewani, menurut Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) jumlah populasi harimau Sumatra di Provinsi Jambi diperkirakan antara 250—300 ekor. Dari jumlah itu 125 ekor diantaranya berada dikawasan taman nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang membentang antara Provinsi Jambi, Sumatra Selatan dan Bengkulu. 

Meski sebagian besar berada dikawasan hutan lindung, kondisi itu tidak menjamin keberlangsungan hidup harimau Sumatra bisa aman. Mengingat, semakin hari kawasan hutan di Jambi terus tergerus akibat alihfungsi lahan menjadi perkebunan atau perumahan. Bukan hanya Harimau Sumatra, banyak populasi hewan di kawasan alih fungsi lahan yang hampir punah, seperti Orang Utan di Borneo Kalimantan, Cendrawasih di Papua dan Gajah Sumatera, hanya untuk kepentingan perluasan perusahaan perkebunan. 

Membudayakan untuk Masa Depan 

Coba kita melihat dengan serius, ratusan ribu hektar alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan di Indonesia tiap tahunnya. Apa dampak kerugian yang akan kita alami kedepan. Tentu akan menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi kita. Bencana yang pasti akan melanda, belum lagi kita kehilangan kelestarian tanah, hutan dan hewan yang kita punya yang akan menimbulkan susahnya kita mendapatkan sumberdaya sebagai sumber kebutuhan untuk hidup. 

Logika terbalik yang dilakukan pemerintah tanpa adanya kontrol yang serius terhadap perkembangan korporasi tentu salah satu hal yang membuat mulusnya perjalanan perusahaan untuk melakukan kegiatan alih fungsi lahan. Maka sudah teraminkan lah bencana yang silih berganti datang di negeri ini. 

Tiga pahlawan lingkungan pun sangat kecewa terhadap logika terbalik yang digunakan pemerintah. Seperti Marandus Sirait dari Kab. Tobasa, Wilmar Simanjorang dari Kab.Samosir, Hasoloan Manik Kab.Dairi yang mendapatkan piagam penghargaan dari Menteri Kehutanan dan Kalpataru dari negara karena berjasa melestarikan lingkungan di kawasan Danau Toba Sumatera Utara. Bahkan mereka memulangkan Piagam penghargaan dan Kalpataru itu pada tanggal 02 Agustus 2013 ke kantor Gubernur Sumatera Utara sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah. Karena semakin rusaknya ekosistem dan semakin gundulnya hutan di daerah Kawasan Danau Toba dan mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat sekitarnya. 

Sudah waktunya kita harus menjungkir balikkan logika pemerintah selama ini, yang meninabobokan perusahaan-perusahaan yang melakukan pengrusakan lingkungan. Masa depan kita berada pada kelestarian masa depan, karena hanya bumilah yang masih bisa menghidupi kita. 

Mulailah kita membudayakan pelestarian alam. Seperti sebuah daerah pedesaan yang memiliki kebiasaan unik untuk mengatasi fenomena ini. Daerah pedesaan ini bernama Desa Piplantri yang berada di barat wilayah Rajashtan. Masyarakat di daerah tersebut sangat peduli dengan lingkungan sehingga menetapkan sebuah kebijakan yang unik. Setiap kali ada bayi perempuan yang lahir di desa tersebut, maka mereka akan menanam 111 bibit pohon. Penanaman ini sekaligus untuk merayakan kelahiran sang bayi dan membuat masa depan yang lebih menjanjikan bagi lingkungan pedesaan tersebut. Bumi untuk kebutuhan kita, kita untuk melestarikan bumi. Bumi menghidupi kita, kita mencipta bumi. Hijau bumi untuk massa depan kita. ***

  Penulis aktif dalam gerakan sosial di kelompok studi BARSDem
Share:
Lokasi: Medan, Sumatera Utara, Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

BTemplates.com

Generasi Padi

Generasi Padi
Nassau

Total Tayangan Halaman

Rumah Kami

Rumah Kami
Porsea
@barunkbijiapikatamata. Diberdayakan oleh Blogger.

Mata yang Berbicara

Mata yang Berbicara
Canon 600D

Daftar Blog Saya

Translate

Pengikut

Labels