Terbit di Harian Anlisa 18 Mei 2014
(Tanggapan
atas Tulisan Naurat Silalahi pada Tanggal 8 Mei 2014)
*Boy
Raja Pangihutan Marpaung
May Day merupakan
sebuah hari yang bersejarah di seluruh dunia dan begitu juga di Indonesia. Hari
itu menjadi hari momentual bagi para buruh seluruh dunia untuk mengkampanyekan
kegelisahan dan penderitaan mereka. Maka salah satu tuntutan buruh Indonesia
yang di wujudkan presiden SBY tahun lalu menjadikan libur nasional di 1 Mei
mulai tahun 2014. Dan tahun ini menjadi momentum perdananya mereka untuk mengekspresikan
hari khusus buruh tersebut.
Tidak heran jika masih banyak sebuah jenis usaha seperti,
UD, Persero, CV, dan bahkan PT masih tidak meliburkan para buruh mereka.
Sehingga para buruh sampai melakukan sweeping
ke perusahaan lain seperti di beberapa kota di Indonesia. Salah satu contoh
yang diberikan oleh Naurat Silalahi, si pria yang ingin menjemput barang dari
sebuah percetakan yang “tentu”memiliki pekerja dan dia salah satu pekerja, dia
takut tidak dapat mendistribusikan kepada konsumen barang tersebut. Kenapa
masih ada buruh dipekerjakan di hari buruh nasional yang diliburkan? Hanya
untuk kepentingan keuntungan perusahaan?
Turun kejalan merupakan gerakan serentak para buruh di
hari yang khusus untuk mereka tersebut. Banyak alasan kenapa mereka harus
demonstrasi, mogok kerja, atau bahkan boikot perusahaan langsung. Itu merupakan
gerakan yang di sepakati bersama atas keluh kesah yang mereka dapatkan di
perusahaan. Aksi mereka pada dasarnya tidaklah berhubungan dengan kepentingan
umum, melaikan kepentingan modal yang berjalan mealui tenaga dan tangan mereka
tanpa dihargainya masa depan mereka.
Buruh Tau Aturan
Sebelum
menjejaki gerakan atau serikat buruh sebenarnya kita tidak pantas menilai
dangkal sikap para buruh. Buruh bahkan agen yang terlibat besar menciptakan
sejarah-sejarah di dunia sampai terciptanya negara maju. Dari jaman perbudakan,
hamba-tani dan sampai ke kapitalisme saat ini merupakan kerja tangan para
buruh. Bahkan sehelai benang yang ada di
tubuh kita yang menjaga martabat orang timur agar tidak telanjang itu juga
hasil kerja tangan para buruh.
Persoalan
martabat bangsa dan sopan santun itu tak
ada gunanya jika orang yang ingin menjalankannya tidaklah makan. Meludah
memiliki nilai estetika yang buruk, tentu karena itu tanda hinaan dan mungkin
itu adalah perlawanan estetika yang di lampiaskan mereka. Jangankan meludah,
bahkan sampai menerobos masuk ke gedung-gedung pemerintah seperti pada tulisan
sebelumnya itu merupakan tindakan yang bukan tanpa sebab.
Bagaimana
dengan Spartacus, budak yang sangat ditakuti di dunia karena membunuh dan
menghancurkan sebagian besar negara adikuasa Romawi pada jamannya dan Spartakus
salah satu orang yang ditokohkan akibat perjuangannya melawan perbudakan romawi.
Atau pengharggaan besar bagi para buruh akibat perjuangan mereka yang mampu
menghancurkan kapitalisme pada jaman Soviet. Dan itu juga ditirukan beberapa
negara timur seperti Cina, Korut dan Vietnam. Bahkan mereka menjadi bagian
negara yang di segani negara eropa secara ekonomi.
Meludah
bukanlah tindakan yang tidak memiliki estetika. Bahkan kita merasa terhormat
ketika merobek bendera Belanda dan menjadikan bendera kebangsaan kita dan itu
tentu memiliki kemiripan. Metode mediasi dengan cara berdiskusi dengan pihak
perusahaan atau pemerintah bukanlah hal yang belum dilalui untuk menempuh cara
aksi yang lebih menentang oleh buruh. Buruh mengerti dan tau aturan serta
batasan kemampuan mereka bertindak. Itu terlihat dari apa yang dituntut mereka,
seperti kasus Outsourching, Buruh Harian Lepas, Upah layak dan jaminan
keselammatan kerja.
Itu
bahkan tuntutan yang sudah lebih sepuluh tahun lamanya. Apakah mereka harus
tetap bermediasi seperti yang disarankan penulis sebelumnya? Tapi mungkin sang
penulis sebagai intelektual dan akademisi perlu mendekatkan diri pada buruh.
Rakyat Memiliki Cara
Ini
bukan persoalan karena tuntutan tidak diperdulikan, tapi lebih ke metode
gerakan rakyat yang memang hanya satu-satunya cara yang teruji adalah berdemonstrasi.
Rakyat tidak seintelektual para akademisi yang memiliki metode retorika dalam
mediasi berdialog, jadi pantas rakyat memiliki caranya sendiri dan tentu itu
merupakan cara yang juga bagian dari demokrasi. Bahkan hampir semua masyarakat
luas memakai cara ini untuk menyampaikan aspirasi. Bagaimana dengan hari-hari
kampanye partai pilitik terdahulu yang lebih 1 minggu membuat macet? Karena
program nasional kah? Hari buruh juga diakui secara nasional bahkan
international juga mengakuinya.
Kesejahteraan
merupakan alasan mengapa lahirnya sebuah protes para buruh. Bukan dikarenakan
layak berdasarkan posisi kejanya, tapi sesuai dengan kebutuhan hidup manusia di
negara ini. Pengeluaran dan pemasukan harus disesuaikan dengan anggaran belanja
setiap manusia, tentu itu dipengaruhi oleh harga pasar yang ada.
Misal,
dengan UMP 1,5 juta sama halnya buruh digaji kurang lebih 50 ribu/hari. Sebagai
buruh yang harus mengeluarkan ongkos perjalanan setiap harinya keperusahaan,
memenuhi kebutuhan dapur, menyekolahkan anak dan membayar kontarakan rumah
bahkan tagihan air dan listrik setiap bulannya. Jika dihitung apakah layak
kurang lebih 50 ribu/hari? Kalau memang layak kenapa kita harus mengutuk
tindakan perbudakan Belanda dan Jepang terhadap Romusa dan Jugun Ianfu. Kan
sama saja perbudakan namanya, di gaji tapi tak cukup.
Jika
kita memandang berdasarkan jabatan, tentu kita tidak mengakui adanya orang
miskin di Indonesia. Tentu, tidak semua orang di Indonesia dapat menyekolahkan
anaknya menjadi suster, dokter bahkan menjadi Drs. Karena masih pendidikan
takaran di Indonesia untuk peluang kerja dan menentukan jabatan kerja. Jadi
bagi mereka yang tidak berpendidikan dipantaskan menjadi Romusa kembali?. Bagaimana dengan di Eropa, buruh bergaji besar
namun perusahaan tidak bangkrut bahkan semakin maju perusahaan dan negaranya.
Akumulasi
modal merupakan dasar penyebabnya. Jika dikatakan pada tulisan sebelumnya pada
perusahaan pakaian, setiap buruh dapat menyelesaikan pakaian 6-7 potong dan
keuntungan hanya 20 ribu setelah menggaji buruh 50 ribu. Berarti dari tiap
potongan baju keuntungan hanya sekitar 2.800 atau sekitar 14% dari keuntungan
total. Tentu ini adalah teori yang keliru, sebab kita dapat melihat bagaimana
setiap perusahaan melakukan over produksi, bahkan di hari-hari besar mereka
akan melakukan discount dari 25%
sampai 90%. Apakah perusahaan akan tetap untung dan tidak gulung tikar apabila
keuntungan dari potongan baju hanya 14%? Sementara di hari besar tersebut
permintaan konsumen lebih banyak.
Pemikiran
atas “layak” sebelumnya tidak melewati sebuah nilai lebih yang di ciptakan
kapital untuk melakukan akumulasi. Sehigga paham kapitalisme yang di tentang
buruh pada tulisan sebelumnya adalah penilaian yang biasa dilalukan oleh pihak
perusahaan. Jadi wajar buruh masih menuntut “kelayakan” mereka untuk memenuhi
nafsu komsumtif manusia di Indonesia.
*Penulis aktif di gerakan sosial
dan Ka.Divisi Penelitian dan Riset di Hutan Rakyat Institute (HaRI)
0 komentar:
Posting Komentar