Dipresentasekan dalam Dalog Publik "Radikalisme Dalam Persepsi Mahasiswa" pada pada Jumat (31/05) di Ruang VIP Coffee Cangkir, Medan, yang di selenggarakan oleh Utama News, Menara News dan LSM Martabat
Indonesia dalam sejarahnya, dari
jaman penjajahan Belanda, Proklamasi ’45,
Pembentukan NKRI, Reformasi ’98, dan sampai menghasilkan wajah Indonesia
yang sekarang ini tidak lepas dari peran kaum muda. Peran kaum muda menjadi
peran penting untuk membawa sejarah Indonesia berikutnya.
Namun
sejarah yang mengembor-gemborkan bahwasanya kaum muda menjadi salah satu agen
perubahan di Negara ini menjadi boomerang yang tak terelakkan. Kaum muda
menjadi-jadi dan merasa kaum muda adalah ujung tombak negara, yang akhirnya
melahirkan sebuah sifat-sifat yang liberal. Sifat yang liberal ini sering
dikatakan Radikalisme Kaum muda, namun menurut saya ini adalah neoradikalisme
atau radikalisme kekinian.
Karena Menurut bahasa radikalisme
berasal dari bahasa latin radix, radicis yang berarti akar dan radicula,
radiculae yang artinya akar kecil. Berbagai makna radikalisme itu
mengacu pada kata akar atau mengakar. Dalam kamus besar bahasa indonesia
radikal diartikan sebagai secara menyeluruh, habis habisan, amat keras menuntut
perubahandan maju berpikir atau bertindak.
Menurut Horace M. Kallen radikalisme di tandai oleh tiga
kecenderungan umum
- . Radikalisme
merupakan respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Respon tersebut
muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan
- Radikalisme
tidak henti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan
lain. Ciri ciri ini menunjukan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu
program atau pandangan dunia (world view) tersendiri. Kaum radikalisme berupaya
kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai pengganti dari tatanan yang
sudah ada.
- Kaum
radikalisme memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran program atau ideologi
yang mereka bawa. Dlam gerakan sosial kaum radikalis memperjuangkan keyakinan
yang mereka anggap benar dengan sikap emosional yang menjurus pada kekerasan.
Secara teoritis
Radikalisme mucul dalam bentuk aksi penolakan, perlawanan, dan keinginan
dari komunitas tertentu agar dunia ini di ubah dan ditata sesuai dengan doktrin
agamanya
Pluralisme tetap menjadi komitmen kita untuk membangun bangsa yang modern
yang di dalamnya terdapat banyak agama dan etnis secara damai. Pluralisme itu
sendiri adalah simbol bagi suksesnya kehidupan masyarakat majemuk.
Sedangkan sekarang, Radikalisme berubah
pengertian sesuai yang kampanyekan melalui media-media massa yang hampir
menyamakan Radikalisme dengan anarkisme, Panatikisme keagamaan dan terorisme.
Sementara Radikalisme yang sebenarnya memiliki alasan yang jelas untuk
melakukan suatu tindakan perubahan yang lebih baik dan bukan bersifat Liberal.
Hal
ini seakan menjadi doktrin pemerintah melalui media untuk menyudutkan kaum-kaum
radikal yang sebenarnya yang menginginkan Indonesia lebih baik. Dapat kita
lihat dari realitas yang terjadi, para penuntut kebijakan pemerintah yang
secara keras sering dinyatakan teroris dan kaum radikal. Sehingga kita tidak
lagi fokus pada tuntutan yang di suarakan melainkan kepada kata teroris dan
radikal nya.
Ini
menjadi embrio para kaum muda melakukan tindakan-tindakan kekerasa, seperti
kita lihat terbentuknya organisasi kepemudaan yang bersipat premanisme, genk
motor, kelompok bersenjata dan arogansi kaum muda keagamaan. Otot menjadi
senjata ketika tuntutan di acuhkan. Frustasi dengan keadaan yang tidak sesuai
deanga realitas kritis mempercepat lahirnya doktrin-doktrin yang sangat liberal
yang Individual yang hanya ingin menyelamatkan dirinya dan kelompoknya . Hal
ini jelas di pengaruh pendidikan-pendidikan yang dibudayakan orang tua,
sekolah, agama, dan peran yang terpenting yaitu negara.
Peran Pendidikan
Menjadi
realita yang ironis ketika kita melihat semangat pendidikan kita menjadi
semangat “adu otot”.
Pendidikan yang seharusnya menyadarkan, kini seakan tidak berfungsi penyadaran.
Akibatnya mentalitas pelajar berbelok ke arah eksistensi yang emosional. Tidak
kritis, menjadi dampak utama yang di alami pelajar kita. Sehinggah untuk
memecahkan masalahpun harus menggunakan emosional.
Kejadian yang berkembang, seperti
tauran antar mahasiswa di kampus Nommensen dan USU, anak SMU antar sekolah, antar pemuda agama dan maraknya genk motor yang juga
didalangi pelajar, seharusnya menjadi acuan kita untuk melakukan evaluasi
terhadap sistem pendidikan yang memang tidak lagi menyadarkan.
Nasib generasi muda yang berada pada
sistem pendidikan yang tidak membebaskan (menyadarkan) tentu akan mempengaruhi
perkembangan bangsa ini. Artiannya, generasi muda yang memiliki mentalitas yang
Bar-bar dan tidak kritis, akan
menjadi penerus bangsa ini, maka kita dapat membayangkan bagai mana nasib
bangsa ini kedepan.
Penyadaran Kritis
Penyadaran merupakan hal utama yang
seharusnya menjadi tanggung jawab pendidikan bagi pelajar. Agar setiap pelajar
dapat terbebaskan dari kebodohan dan dapat memecahkan permasalahan, serta
menciptakan pelajar-pelajar yang memiliki moral dan kesadaran yang kritis.
Dalam hal penyadaran, pakar
pendidikan dari Brazil Paulo Freire, menyatakan bahwa, setiap manusia memiliki
tingkat kesadaran. Namun, tingkat kesadaran manusia sering bersifat statis dan
tidak berdialektika ke tingkatan penyadaran yang lebih tinggi. Freire
menyimpulkan bahwa hal ini disebabkan karena tidak adanya sistem pendidikan
yang menyadarkan.
Paulo Freire dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas, menegaskan
bahwa ada tiga tingkat kesadaran manusia. Pertama,
kesadaran magis; merupakan kesadaran untuk menangkap fakta-fakta yang akan
diberikan kepada penguasa yang mengkontrol kesadarannya (alam gaib/mistis) .Kedua, kesadaran kritis; kesadaran ini
lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah. Ketiga, kesadata naif; kesadaran ini
lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan
struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the
victims” dan lebih menganalisis.
Dari ketiga tingkatan kesadaran ini,
tingkatan yang paling tinggi adalah tingkatan kesadaran kritis, naif menjadi
yang kedua dan magis menjadi tingkatan kesadaran yang paling rendah. Pada
umumnya manusia hanya menggunakan tingkat kesadaran magis dan naif, sementara
kesadaran kritis terabaikan, sehinggah sering manusia masih betingkah laku seperti
manusia primitip.
Maka untuk itu sudah saatnya lembaga
pendidikan di Indonesia untuk memberikan pendidikan dengan tingkat kesadaran
yang lebih tinggi kepada calon-calon penerus bangsa (generasi muda). Jangan
menganggap pendidikan itu hanya sekedar formalitas individu, melainkan
indentitas dari suatu bangsa.
Untuk Mencapai kesadaran kritis
tersebut, pemerintah harus merubah sistem pendidikan yang hanya bermakna candu.
Lebih mengarah kan ke pendidikan yang bersifat penyadaran, dengan menkaitakan
langsung dengan kondisi sosial masyarakta. Seperti di Cina, Re-Education yang di lakukan pemerintah
Cina untuk mningkatkan kesadaran rakyatnya yang masih memiliki kesadaran magis
dan naif.
Jangan menganggap bahwa pendidikan
itu, hanya proses transfer ilmu kepada orang lain, seperti sistem bank yang dinyatakan Paulo Freire.
Karena hal initidak akan menumbuhkan kesadaran kritis bagi masyarakat. Namun
pemahaman terhadap kondisi sosialnya akan membangkitkan kesadaran kritisnya.
Kesadaran Primitip
Adu otot atau sering kita sebut
dengan tauran ala pemuda adalah contoh dari kesadaran manusia yang masih
primitip. Berkembangnya kasus tauran antar pelajar dan keributan yang
ditimbulkan oleh pelajar dan merugikan orang lain, menunjukkan bahwa sistem
pendidikan tidak lagi mendidik moral dan kesadaran yang kritis.
Moralitas bukanlah internalisasi
nilai-nilai cultural yang telah mapan maupun bentangan dorongan dan emosi
spontan, moralitas adalah keadilan, hubungan timbal balik antara seorang
individu lainnya di lingkungan sosialnya. Maka ketikan moralitas itu tidak
terbangun dalam pendidikan, secara otomatis akan tetap tingkat kesadaran
manusia tidak akan mencapai kritis.
Jadi sudah dapat kita simpulkan,
bahwa ternyata kesadaran para pelajar Indonesia (yang adu otot) masihlah di
tingkatan kesadaran naif. Dimana hal mendasar kehidupan bukan menjadi akar
permasalahan, malah menyimpulkan orang lain yang menjadi penyebab masalah.
Sehinggah, wajar apabila sangat sering kita lihat terjadinya konflik
horizontal, baik antar pelajar maupun masyarakat.
Lemahnya pendidikan kita dalam hal
penyadaran bagi masyarakat menunjukkan bahwa sistem pendidikan saat ini,
bukanlah sitem pendidikan yang menjadi kebutuhan rakyat. Apabila kita melihat
gejolak masyarakat, maka msyarakat pasti membutuhkan kesadaran kritis. Karena
kesadaran kritis dapat digunakan masyarakat untuk memecahakan permasalahan
dalam kehidupan sosialnya.
Menjadi tanggung jawab moral
tentunya bagi pemerintah untuk memberikan pendidikan yang memang menyadarkan
bagi generasi muda bangsa. Bukan sekedar kepentingan individu para pemuda
(pelajar), namun sebagai jaminan nasib bangsa ini kedepannya.
Apabila pendidikan belum dapat
mengubah kesadaran manusia yang masih primitip ke tingkatan kesadaran kritis,
ini membuktikan bahwa sitem pendidikan saat ini belumlah membebaskan
(menyadarkan). Melainkan, pendidikan hanya sebagai simbolik yang hanya
digunakan untuk mengkomersialisasikan ilmu pengetahuan. Dan pasti akan tetap
menciptakan manusia yang memiliki kesadaran prmitip (magis dan naif).
Spiral
Kekerasan dalam Gerakan Mahasiswa
Gerakan
mahasiswa jika kita tengok dari sejarah kemunculannya adalah merupakan
anti thesa dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada
kepentingan rakyat. Sehingga dampak kebijakan tersebut memicu dan memelihara
lahirnya kekerasan. Dom Helder Camara menjelaskan dialektika tersebut
dengan teori spiral kekerasan. Teori ini dapat dijelaskan dari bekerjanya tiga
bentuk kekerasan bersifat personal, institusional dan struktural, yaitu
ketidakadilan, kekerasan pemberontakan sipil dan represi negara.
Konfigurasi
spiral kekerasan tersebut cukup menggambarkan bahwa kebijakan negara yang
melahirkan dan memicu kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia menjadi
bagian dari siklus gerakan kaum muda kritis untuk menyongsong perubahan.
Saat
ini tidak asing bagi kita melihat di TV mahasiswa bentrok dengan pihak
kepolisian hanya karna menuntut keadialan, dan mahasiswa langsung dituduh
anarkis, yang menjadi pertanyaan, mana lebih anarkis polisi dengan senjata,
atau mahasiswa dengan batu?. Tuduhan-tuduhan ini lah yang menjadi doktrin, dan
dalam benak masyarakat mahasiswa sangatlah bringas dan radikalisme.
Ironis,
ketika semua lini dimanfaatkan pemerintah untuk mendokrin rakyatnya, dari
merubahmakna radikalisme menjadi lebih seram dari sebuah pembunuhan, sampai
pada agama, media dan lembaga pendidikan dimanfaatkan untuk melemahkan sebuah
gerakan radikal yang sebenarnya dengan cara memburu-burukkannya hanya untuk
kepentingan politik.
Sehingga rakyat
Indonesia tidak pernah lepas dari yang namanya perpecahan, dan lahirlah Isu-isu
yang tak asing seperti isu SARA, TERORISME, RADIKALISME dan ANARKISME.
Sementara, isu utang luar negeri, penguasaan asing terhadap SDA Indonesia,
Kemiskinan, perampasan tanah,perburuhan hingga korupsi terlupakan. Dan tidak
ada lagi kaum muda yang kritis, yang ada hanya kaum radikalisme kekinian buatan
pemerintah.
“Kondisi Sosial
Menentukan Kesadaran Sosial”
(marx)
Aktif
di kelomok study mahasiswa Barisan Demokrat (BARSDem)