BOY RAJA P. MARPAUNG, SH & REKAN

Selasa, 12 November 2013

Kaum Muda dalam Konteks Radikalisme Kekinian


    Dipresentasekan dalam Dalog Publik "Radikalisme Dalam Persepsi Mahasiswa" pada pada Jumat (31/05) di Ruang VIP Coffee Cangkir, Medan, yang di selenggarakan oleh Utama News, Menara News dan LSM Martabat



                  Indonesia dalam sejarahnya, dari jaman penjajahan Belanda, Proklamasi ’45,  Pembentukan NKRI, Reformasi ’98, dan sampai menghasilkan wajah Indonesia yang sekarang ini tidak lepas dari peran kaum muda. Peran kaum muda menjadi peran penting untuk membawa sejarah Indonesia berikutnya.
                  Namun sejarah yang mengembor-gemborkan bahwasanya kaum muda menjadi salah satu agen perubahan di Negara ini menjadi boomerang yang tak terelakkan. Kaum muda menjadi-jadi dan merasa kaum muda adalah ujung tombak negara, yang akhirnya melahirkan sebuah sifat-sifat yang liberal. Sifat yang liberal ini sering dikatakan Radikalisme Kaum muda, namun menurut saya ini adalah neoradikalisme atau radikalisme kekinian.
Karena Menurut bahasa radikalisme berasal dari bahasa latin radix, radicis yang berarti akar  dan radicula, radiculae yang artinya akar kecil. Berbagai makna radikalisme itu mengacu pada kata akar atau mengakar. Dalam kamus besar bahasa indonesia radikal diartikan sebagai secara menyeluruh, habis habisan, amat keras menuntut perubahandan maju berpikir atau bertindak.

Menurut Horace M. Kallen radikalisme di tandai oleh tiga kecenderungan umum
  •  .  Radikalisme merupakan respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Respon tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan
  •     Radikalisme tidak henti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan lain. Ciri ciri ini menunjukan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia (world view) tersendiri. Kaum radikalisme berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai pengganti dari tatanan yang sudah ada.
  •      Kaum radikalisme memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Dlam gerakan sosial kaum radikalis memperjuangkan keyakinan yang mereka anggap benar dengan sikap emosional yang menjurus pada kekerasan.

    Secara teoritis
Radikalisme mucul dalam bentuk aksi penolakan, perlawanan, dan keinginan dari komunitas tertentu agar dunia ini di ubah dan ditata sesuai dengan doktrin agamanya
Pluralisme tetap menjadi komitmen kita untuk membangun bangsa yang modern yang di dalamnya terdapat banyak agama dan etnis secara damai. Pluralisme itu sendiri adalah simbol bagi suksesnya kehidupan masyarakat majemuk.


Sedangkan sekarang, Radikalisme berubah pengertian sesuai yang kampanyekan melalui media-media massa yang hampir menyamakan Radikalisme dengan anarkisme, Panatikisme keagamaan dan terorisme. Sementara Radikalisme yang sebenarnya memiliki alasan yang jelas untuk melakukan suatu tindakan perubahan yang lebih baik dan bukan bersifat Liberal.
            Hal ini seakan menjadi doktrin pemerintah melalui media untuk menyudutkan kaum-kaum radikal yang sebenarnya yang menginginkan Indonesia lebih baik. Dapat kita lihat dari realitas yang terjadi, para penuntut kebijakan pemerintah yang secara keras sering dinyatakan teroris dan kaum radikal. Sehingga kita tidak lagi fokus pada tuntutan yang di suarakan melainkan kepada kata teroris dan radikal nya.
            Ini menjadi embrio para kaum muda melakukan tindakan-tindakan kekerasa, seperti kita lihat terbentuknya organisasi kepemudaan yang bersipat premanisme, genk motor, kelompok bersenjata dan arogansi kaum muda keagamaan. Otot menjadi senjata ketika tuntutan di acuhkan. Frustasi dengan keadaan yang tidak sesuai deanga realitas kritis mempercepat lahirnya doktrin-doktrin yang sangat liberal yang Individual yang hanya ingin menyelamatkan dirinya dan kelompoknya . Hal ini jelas di pengaruh pendidikan-pendidikan yang dibudayakan orang tua, sekolah, agama, dan peran yang terpenting yaitu negara.

Peran Pendidikan
Menjadi realita yang ironis ketika kita melihat semangat pendidikan kita menjadi semangat “adu  otot”. Pendidikan yang seharusnya menyadarkan, kini seakan tidak berfungsi penyadaran. Akibatnya mentalitas pelajar berbelok ke arah eksistensi yang emosional. Tidak kritis, menjadi dampak utama yang di alami pelajar kita. Sehinggah untuk memecahkan masalahpun harus menggunakan emosional.
            Kejadian yang berkembang, seperti tauran antar mahasiswa di kampus Nommensen dan USU, anak SMU antar sekolah, antar pemuda agama dan maraknya genk motor yang juga didalangi pelajar, seharusnya menjadi acuan kita untuk melakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan yang memang tidak lagi menyadarkan.
            Nasib generasi muda yang berada pada sistem pendidikan yang tidak membebaskan (menyadarkan) tentu akan mempengaruhi perkembangan bangsa ini. Artiannya, generasi muda yang memiliki mentalitas yang Bar-bar dan tidak kritis, akan menjadi penerus bangsa ini, maka kita dapat membayangkan bagai mana nasib bangsa ini kedepan.
                        Penyadaran Kritis
            Penyadaran merupakan hal utama yang seharusnya menjadi tanggung jawab pendidikan bagi pelajar. Agar setiap pelajar dapat terbebaskan dari kebodohan dan dapat memecahkan permasalahan, serta menciptakan pelajar-pelajar yang memiliki moral dan kesadaran yang kritis.
            Dalam hal penyadaran, pakar pendidikan dari Brazil Paulo Freire, menyatakan bahwa, setiap manusia memiliki tingkat kesadaran. Namun, tingkat kesadaran manusia sering bersifat statis dan tidak berdialektika ke tingkatan penyadaran yang lebih tinggi. Freire menyimpulkan bahwa hal ini disebabkan karena tidak adanya sistem pendidikan yang menyadarkan.
            Paulo Freire dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas, menegaskan bahwa ada tiga tingkat kesadaran manusia. Pertama, kesadaran magis; merupakan kesadaran untuk menangkap fakta-fakta yang akan diberikan kepada penguasa yang mengkontrol kesadarannya (alam gaib/mistis) .Kedua, kesadaran kritis; kesadaran ini lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah. Ketiga, kesadata naif; kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” dan lebih menganalisis.
            Dari ketiga tingkatan kesadaran ini, tingkatan yang paling tinggi adalah tingkatan kesadaran kritis, naif menjadi yang kedua dan magis menjadi tingkatan kesadaran yang paling rendah. Pada umumnya manusia hanya menggunakan tingkat kesadaran magis dan naif, sementara kesadaran kritis terabaikan, sehinggah sering manusia masih betingkah laku seperti manusia primitip.
            Maka untuk itu sudah saatnya lembaga pendidikan di Indonesia untuk memberikan pendidikan dengan tingkat kesadaran yang lebih tinggi kepada calon-calon penerus bangsa (generasi muda). Jangan menganggap pendidikan itu hanya sekedar formalitas individu, melainkan indentitas dari suatu bangsa.
            Untuk Mencapai kesadaran kritis tersebut, pemerintah harus merubah sistem pendidikan yang hanya bermakna candu. Lebih mengarah kan ke pendidikan yang bersifat penyadaran, dengan menkaitakan langsung dengan kondisi sosial masyarakta. Seperti di Cina, Re-Education yang di lakukan pemerintah Cina untuk mningkatkan kesadaran rakyatnya yang masih memiliki kesadaran magis dan naif.
            Jangan menganggap bahwa pendidikan itu, hanya proses transfer ilmu kepada orang lain, seperti sistem bank yang dinyatakan Paulo Freire. Karena hal initidak akan menumbuhkan kesadaran kritis bagi masyarakat. Namun pemahaman terhadap kondisi sosialnya akan membangkitkan kesadaran kritisnya.
Kesadaran Primitip
            Adu otot atau sering kita sebut dengan tauran ala pemuda adalah contoh dari kesadaran manusia yang masih primitip. Berkembangnya kasus tauran antar pelajar dan keributan yang ditimbulkan oleh pelajar dan merugikan orang lain, menunjukkan bahwa sistem pendidikan tidak lagi mendidik moral dan kesadaran yang kritis.
            Moralitas bukanlah internalisasi nilai-nilai cultural yang telah mapan maupun bentangan dorongan dan emosi spontan, moralitas adalah keadilan, hubungan timbal balik antara seorang individu lainnya di lingkungan sosialnya. Maka ketikan moralitas itu tidak terbangun dalam pendidikan, secara otomatis akan tetap tingkat kesadaran manusia tidak akan mencapai kritis.
            Jadi sudah dapat kita simpulkan, bahwa ternyata kesadaran para pelajar Indonesia (yang adu otot) masihlah di tingkatan kesadaran naif. Dimana hal mendasar kehidupan bukan menjadi akar permasalahan, malah menyimpulkan orang lain yang menjadi penyebab masalah. Sehinggah, wajar apabila sangat sering kita lihat terjadinya konflik horizontal, baik antar pelajar maupun masyarakat.
            Lemahnya pendidikan kita dalam hal penyadaran bagi masyarakat menunjukkan bahwa sistem pendidikan saat ini, bukanlah sitem pendidikan yang menjadi kebutuhan rakyat. Apabila kita melihat gejolak masyarakat, maka msyarakat pasti membutuhkan kesadaran kritis. Karena kesadaran kritis dapat digunakan masyarakat untuk memecahakan permasalahan dalam kehidupan sosialnya.
            Menjadi tanggung jawab moral tentunya bagi pemerintah untuk memberikan pendidikan yang memang menyadarkan bagi generasi muda bangsa. Bukan sekedar kepentingan individu para pemuda (pelajar), namun sebagai jaminan nasib bangsa ini kedepannya.
            Apabila pendidikan belum dapat mengubah kesadaran manusia yang masih primitip ke tingkatan kesadaran kritis, ini membuktikan bahwa sitem pendidikan saat ini belumlah membebaskan (menyadarkan). Melainkan, pendidikan hanya sebagai simbolik yang hanya digunakan untuk mengkomersialisasikan ilmu pengetahuan. Dan pasti akan tetap menciptakan manusia yang memiliki kesadaran prmitip (magis dan naif).

Spiral Kekerasan dalam Gerakan Mahasiswa
Gerakan mahasiswa jika kita tengok dari sejarah kemunculannya adalah merupakan anti thesa dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Sehingga dampak kebijakan tersebut memicu dan memelihara lahirnya kekerasan. Dom Helder Camara menjelaskan dialektika tersebut dengan teori spiral kekerasan. Teori ini dapat dijelaskan dari bekerjanya tiga bentuk kekerasan bersifat personal, institusional dan struktural, yaitu ketidakadilan, kekerasan pemberontakan sipil dan represi negara.
Konfigurasi spiral kekerasan tersebut cukup menggambarkan bahwa kebijakan negara yang melahirkan dan memicu kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia menjadi bagian dari siklus gerakan kaum muda kritis untuk menyongsong perubahan.
            Saat ini tidak asing bagi kita melihat di TV mahasiswa bentrok dengan pihak kepolisian hanya karna menuntut keadialan, dan mahasiswa langsung dituduh anarkis, yang menjadi pertanyaan, mana lebih anarkis polisi dengan senjata, atau mahasiswa dengan batu?. Tuduhan-tuduhan ini lah yang menjadi doktrin, dan dalam benak masyarakat mahasiswa sangatlah bringas dan radikalisme.
            Ironis, ketika semua lini dimanfaatkan pemerintah untuk mendokrin rakyatnya, dari merubahmakna radikalisme menjadi lebih seram dari sebuah pembunuhan, sampai pada agama, media dan lembaga pendidikan dimanfaatkan untuk melemahkan sebuah gerakan radikal yang sebenarnya dengan cara memburu-burukkannya hanya untuk kepentingan politik.
Sehingga rakyat Indonesia tidak pernah lepas dari yang namanya perpecahan, dan lahirlah Isu-isu yang tak asing seperti isu SARA, TERORISME, RADIKALISME dan ANARKISME. Sementara, isu utang luar negeri, penguasaan asing terhadap SDA Indonesia, Kemiskinan, perampasan tanah,perburuhan hingga korupsi terlupakan. Dan tidak ada lagi kaum muda yang kritis, yang ada hanya kaum radikalisme kekinian buatan pemerintah.

“Kondisi Sosial Menentukan Kesadaran Sosial”
(marx)


Aktif di kelomok study mahasiswa Barisan Demokrat (BARSDem)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

BTemplates.com

Generasi Padi

Generasi Padi
Nassau

Total Tayangan Halaman

Rumah Kami

Rumah Kami
Porsea
@barunkbijiapikatamata. Diberdayakan oleh Blogger.

Mata yang Berbicara

Mata yang Berbicara
Canon 600D

Daftar Blog Saya

Translate

Pengikut

Labels