BOY RAJA P. MARPAUNG, SH & REKAN

  • Alamat dan Kontak Kantor Hukum BOY RAJA P. MARPAUNG, SH dan REKAN

    -
  • KARTU NAMA BAPAK BOY RAJA MARPAUNG, SH

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 23 Mei 2014

Mengenali Gerakan Buruh Lebih Dekat

Terbit di Harian Anlisa 18 Mei 2014

(Tanggapan atas Tulisan Naurat Silalahi pada Tanggal 8 Mei 2014)
*Boy Raja Pangihutan Marpaung
            May Day merupakan sebuah hari yang bersejarah di seluruh dunia dan begitu juga di Indonesia. Hari itu menjadi hari momentual bagi para buruh seluruh dunia untuk mengkampanyekan kegelisahan dan penderitaan mereka. Maka salah satu tuntutan buruh Indonesia yang di wujudkan presiden SBY tahun lalu menjadikan libur nasional di 1 Mei mulai tahun 2014. Dan tahun ini menjadi momentum perdananya mereka untuk mengekspresikan hari khusus buruh tersebut.
            Tidak heran jika masih banyak sebuah jenis usaha seperti, UD, Persero, CV, dan bahkan PT masih tidak meliburkan para buruh mereka. Sehingga para buruh sampai melakukan sweeping ke perusahaan lain seperti di beberapa kota di Indonesia. Salah satu contoh yang diberikan oleh Naurat Silalahi, si pria yang ingin menjemput barang dari sebuah percetakan yang “tentu”memiliki pekerja dan dia salah satu pekerja, dia takut tidak dapat mendistribusikan kepada konsumen barang tersebut. Kenapa masih ada buruh dipekerjakan di hari buruh nasional yang diliburkan? Hanya untuk kepentingan keuntungan perusahaan?
            Turun kejalan merupakan gerakan serentak para buruh di hari yang khusus untuk mereka tersebut. Banyak alasan kenapa mereka harus demonstrasi, mogok kerja, atau bahkan boikot perusahaan langsung. Itu merupakan gerakan yang di sepakati bersama atas keluh kesah yang mereka dapatkan di perusahaan. Aksi mereka pada dasarnya tidaklah berhubungan dengan kepentingan umum, melaikan kepentingan modal yang berjalan mealui tenaga dan tangan mereka tanpa dihargainya masa depan mereka.
            Buruh Tau Aturan
Sebelum menjejaki gerakan atau serikat buruh sebenarnya kita tidak pantas menilai dangkal sikap para buruh. Buruh bahkan agen yang terlibat besar menciptakan sejarah-sejarah di dunia sampai terciptanya negara maju. Dari jaman perbudakan, hamba-tani dan sampai ke kapitalisme saat ini merupakan kerja tangan para buruh.  Bahkan sehelai benang yang ada di tubuh kita yang menjaga martabat orang timur agar tidak telanjang itu juga hasil kerja tangan para buruh.
Persoalan martabat bangsa dan sopan santun itu  tak ada gunanya jika orang yang ingin menjalankannya tidaklah makan. Meludah memiliki nilai estetika yang buruk, tentu karena itu tanda hinaan dan mungkin itu adalah perlawanan estetika yang di lampiaskan mereka. Jangankan meludah, bahkan sampai menerobos masuk ke gedung-gedung pemerintah seperti pada tulisan sebelumnya itu merupakan tindakan yang bukan tanpa sebab.
Bagaimana dengan Spartacus, budak yang sangat ditakuti di dunia karena membunuh dan menghancurkan sebagian besar negara adikuasa Romawi pada jamannya dan Spartakus salah satu orang yang ditokohkan akibat perjuangannya melawan perbudakan romawi. Atau pengharggaan besar bagi para buruh akibat perjuangan mereka yang mampu menghancurkan kapitalisme pada jaman Soviet. Dan itu juga ditirukan beberapa negara timur seperti Cina, Korut dan Vietnam. Bahkan mereka menjadi bagian negara yang di segani negara eropa secara ekonomi.
Meludah bukanlah tindakan yang tidak memiliki estetika. Bahkan kita merasa terhormat ketika merobek bendera Belanda dan menjadikan bendera kebangsaan kita dan itu tentu memiliki kemiripan. Metode mediasi dengan cara berdiskusi dengan pihak perusahaan atau pemerintah bukanlah hal yang belum dilalui untuk menempuh cara aksi yang lebih menentang oleh buruh. Buruh mengerti dan tau aturan serta batasan kemampuan mereka bertindak. Itu terlihat dari apa yang dituntut mereka, seperti kasus Outsourching, Buruh Harian Lepas, Upah layak dan jaminan keselammatan kerja.
Itu bahkan tuntutan yang sudah lebih sepuluh tahun lamanya. Apakah mereka harus tetap bermediasi seperti yang disarankan penulis sebelumnya? Tapi mungkin sang penulis sebagai intelektual dan akademisi perlu mendekatkan diri pada buruh.
Rakyat Memiliki Cara
Ini bukan persoalan karena tuntutan tidak diperdulikan, tapi lebih ke metode gerakan rakyat yang memang hanya satu-satunya cara yang teruji adalah berdemonstrasi. Rakyat tidak seintelektual para akademisi yang memiliki metode retorika dalam mediasi berdialog, jadi pantas rakyat memiliki caranya sendiri dan tentu itu merupakan cara yang juga bagian dari demokrasi. Bahkan hampir semua masyarakat luas memakai cara ini untuk menyampaikan aspirasi. Bagaimana dengan hari-hari kampanye partai pilitik terdahulu yang lebih 1 minggu membuat macet? Karena program nasional kah? Hari buruh juga diakui secara nasional bahkan international juga mengakuinya.
Kesejahteraan merupakan alasan mengapa lahirnya sebuah protes para buruh. Bukan dikarenakan layak berdasarkan posisi kejanya, tapi sesuai dengan kebutuhan hidup manusia di negara ini. Pengeluaran dan pemasukan harus disesuaikan dengan anggaran belanja setiap manusia, tentu itu dipengaruhi oleh harga pasar yang ada.
Misal, dengan UMP 1,5 juta sama halnya buruh digaji kurang lebih 50 ribu/hari. Sebagai buruh yang harus mengeluarkan ongkos perjalanan setiap harinya keperusahaan, memenuhi kebutuhan dapur, menyekolahkan anak dan membayar kontarakan rumah bahkan tagihan air dan listrik setiap bulannya. Jika dihitung apakah layak kurang lebih 50 ribu/hari? Kalau memang layak kenapa kita harus mengutuk tindakan perbudakan Belanda dan Jepang terhadap Romusa dan Jugun Ianfu. Kan sama saja perbudakan namanya, di gaji tapi tak cukup.
Jika kita memandang berdasarkan jabatan, tentu kita tidak mengakui adanya orang miskin di Indonesia. Tentu, tidak semua orang di Indonesia dapat menyekolahkan anaknya menjadi suster, dokter bahkan menjadi Drs. Karena masih pendidikan takaran di Indonesia untuk peluang kerja dan menentukan jabatan kerja. Jadi bagi mereka yang tidak berpendidikan dipantaskan menjadi Romusa kembali?. Bagaimana dengan di Eropa, buruh bergaji besar namun perusahaan tidak bangkrut bahkan semakin maju perusahaan dan negaranya.
Akumulasi modal merupakan dasar penyebabnya. Jika dikatakan pada tulisan sebelumnya pada perusahaan pakaian, setiap buruh dapat menyelesaikan pakaian 6-7 potong dan keuntungan hanya 20 ribu setelah menggaji buruh 50 ribu. Berarti dari tiap potongan baju keuntungan hanya sekitar 2.800 atau sekitar 14% dari keuntungan total. Tentu ini adalah teori yang keliru, sebab kita dapat melihat bagaimana setiap perusahaan melakukan over produksi, bahkan di hari-hari besar mereka akan melakukan discount dari 25% sampai 90%. Apakah perusahaan akan tetap untung dan tidak gulung tikar apabila keuntungan dari potongan baju hanya 14%? Sementara di hari besar tersebut permintaan konsumen lebih banyak.
Pemikiran atas “layak” sebelumnya tidak melewati sebuah nilai lebih yang di ciptakan kapital untuk melakukan akumulasi. Sehigga paham kapitalisme yang di tentang buruh pada tulisan sebelumnya adalah penilaian yang biasa dilalukan oleh pihak perusahaan. Jadi wajar buruh masih menuntut “kelayakan” mereka untuk memenuhi nafsu komsumtif manusia di Indonesia.

*Penulis aktif di gerakan sosial dan Ka.Divisi Penelitian dan Riset di Hutan Rakyat Institute (HaRI)
Share:

Jumat, 09 Mei 2014

Komunalisme Masyarakat dan Pemanfaatan Hutan


terbit di Harian Medan Bisnis 9 Mei 2014

*Boy Raja Pangihutan Marpaung
            Sejarah perkembangan manusia pada awalnya merupakan sejarah berkelompok atau yang sering disebut komunal atau gen masyarakat. Dari awal komunal primirif hingga menuju kemajuan berkelompok secara modern dan global yakni yang akhirnya bernegara seperti sekarang ini. Namun perubahan dalam hal memahami komunalisme pada diri masyarakat tidaklah secepat perubahan perkembangan bentuk komunal seperti konsep negara.
            Apalagi melihat wajah sebenarnya Indonesia yang beribu jenis gen masyarakat. Itu tentu dapat dilihat dari suku-suku yang memiliki perbedadaan dalam sikap  kebiasaan-kebiasaan komunalisme masing-masing. Namun meskipun ada perbedaan dalam sistem kebiasaannya, jika di bidang hal bertahan hidup semua gen di Indonesia hampirlah sama. Tidak ada gen masyarakat yang jauh dari pemanfaatan sumber daya alam. Misalnya jika yang berasal dari pesisir tentu memanfaatkan lautan sebagai sumber kehidupan dan yang berada di hutan tentu memanfaatkan hutan sebagai sumber kehidupan.
Hal ini lah yang mempersatukan seluruh gen masyarakat di Indonesia untuk melawan penjajahan Belanda yang telah merampas semua sumber daya alam yang juga mengancam keberlanjutan kehidupan setiap gen.

Komunalisme Masyarakat
Sekarang Indonesia sudalah merdeka dan menjadi sebuah negara yang menyambungkan setiap gen mayarakat yang dulu masih bersifat komunal primitif kini bersatu dan terkordinasi melalui setiap struktur negara tinggakat desa. Namun kebiasaan dalam hal komunalisme masyarakat tidak lah hilang begitu saja. Sebagian masyarakat masih lah mewarisi kebiasaan-kebiasaan itu dalam menjalankan gen baru yaitu tingkat desa.
Gen masyarakat ini saat ini sering di sebut sebagai Masyarakat adat. Masyarakat ini masih menggunakan kebiasaan i jaman gen dulu, terlihat dari sistem mereka bertahan hidup melalui pertanian dan adanya kerjasama bergantian untuk menyelesaikan setiap pengerjaan atau panen nya pertanian. Bukan hanya itu saja, masyarakat masih menganut hak kepemilikan adat seperti yang mereka sebutkan hutan adat dan tanah adat/ulayat. Itu merupakan lahan yang di miliki adat, setiap orang berhak mengelolah dan menggunakannya untuk menjadikannya sumber kehidupan asalkan tidak dijadikan milik pribadi dan tidak di jual.
Contoh masyarakat yang terdekat yang masih dapat kita temui yang masih menganut hal ini seperti masyarakat Batak Toba. Ada beberapa daerah seperti di Kabpaten Tobasamosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan dan Dairi. Mayoritas masyarakat di sini  masih mengnaut komunalisme seperti marsiadap ari (bekerja sama dengan seluruh masyarakat kampung untuk menyelesaikan pertanian secara bergantian), ada juga yang masih memanfaatkan hutan adat seperti hutan kemenyan di Humbahas dan beberapa desa di Tobasa dan Taput. Dan di akhir panen selesai, biasanya seluruh masyarakat desa merayakan hasil panen itu secara bersamaan dengan membuat pesta gondang naposo (gendang remaja).
Kebersamaan gen yang kini berubah sebutan dengan masyarakat ini tentu memiliki kebiasaan yang berbeda untuk menunjukan komunalisme mereka di setiap daerah. Ada kegiatan-kegiatan tertentu yang membuktikan bahwasanya komunalisme mereka itu tidak lah hilang begitu saja. Kalau di batak toba sendiri jangan heran ketika kita berada di salah satu kampung yang nama kampung itu adalah nama salah satu marga batak toba dan semua penghuninya bermarga kampung tersebut. Nah seperti itu lah gen itu muncul di daerah itu, adanya pembuka kampung yang memiliki marga dan membuat nama kampung itu dengan marga tersebut. Seperti biasannya kampung itu merupakan tanah adat yang dimiliki bersama oleh gen (marga) generasi pembuka kampung itu.

            Pemanfaatan Hutan
            Kehidupan yang tidak pernah terlepas dari alam tentu membuktikan bahwa tidak terpisahkannya masyarakat adat dari hutan. Beberapa kejadian di Indonesia yang ingin memisahkan masyarakat dengan hutan adat mereka seperti Suku Anak dalam di Jambi, Masarakat Humbahas dengan Kemenyan, masayarakat Taput di Parombuan dan Masyarakat Sulawesi selatan di Katu. Akhirnya kejadian seperti ini akan mengakibatkan terjadinya konflik antara masyarakat adat dengan pihak pemerintah maupun pihak perusahaan yang mendapatkan izin Hak Guna Usaha dari negara.
            Jika sang pembaca salah satu masyarakat adat, tentu masih mengingat mitos-mitos orang tua atau nenek kita dahulu, jika kita masuk hutan dan merusak huta, apalagi mengambil kayu bakar berlebihan, maka kita akan tersesat di hutan. Jika di generalisasikan dengan jaman sekarang tentu kita nalar kan kehadiran mitos tersebut agar kita tidak merusak hutan.  Namun kini setelah kelompok semkin besar yakni bernegara malah membuat kita semakin lemah untuk mempertahankan dan menjaga hutan-hutan adat tersebut.
            Tidak mungkin dipisahkan begitu saja, banyak masyarkat adat yang hidup dengan hutan dan bahkan mereka merawat dan sama sekali tidak merusaknya. Namun terpaksa di gusur secara kasar hanya karena pembangunan sebuah perusahaan tambang, perkebunan dan pembangunan-pembangunan property. Hilangnya pemanfatan hutan oleh masyarakat adat tersebut tentu akan mempengaruhi komunalismeyang ada di masyarakat itu sendiri. Bukan hanya itu saja, tentu menjadi sebuah penyebab hilang nya beberapa gen akibat digusur.
            Perlu dipahami, dari sejarah masyarakat Indonesia, sampai Indonesia sendiri yang menghilangkan sejarah masyarakatnya dengan cara tidak menghormati dan mengakui masyarakat adat tentu mengancam sejarah dan keberadaan Indonesia sendiri. Mungkin menjadi peringatan kepada Indonesia ketiga lahirnya gerakan- gerakan seperti Gerakan Aceh Merdeka, Operasi Papua Merdeka, Republik Maluku Selatan dan kini para akademisi Sumut sedang menggagas Sumut Merdeka.
            Pengakuan atas masyarakat dan adatnya, serta menghormati hak-hak adat mereka merupakan masadepan Indonesia yang lebik dan lebih utuh.
*Penulis adalah staf di Lembaga Penelitian dan Riset HaRI (Hutan Rakyat Institute)

Share:

BTemplates.com

Generasi Padi

Generasi Padi
Nassau

Total Tayangan Halaman

Rumah Kami

Rumah Kami
Porsea
@barunkbijiapikatamata. Diberdayakan oleh Blogger.

Mata yang Berbicara

Mata yang Berbicara
Canon 600D

Daftar Blog Saya

Translate

Pengikut

Labels