BOY RAJA P. MARPAUNG, SH & REKAN

  • Alamat dan Kontak Kantor Hukum BOY RAJA P. MARPAUNG, SH dan REKAN

    -
  • KARTU NAMA BAPAK BOY RAJA MARPAUNG, SH

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 24 Juli 2014

Tak Lagi Organik

Indah matamu terkadang menipu 
Segar bagaikan tumbuhan yang baru mekar
Menyapa pagi dengan embun bersyahdu
Bingar ria membangunkan sangar

Rambut dan kulitmu halus bersih
Bagai kanvas sedia kala terbingkai
Rajut wajah yang kian memutih
Lambai pelukis tak lagi mengubris

Kaki kuat mu berjalan merdu
Berlayar mengarungi tanah
Akar rumput selalu menyambut
Belajar setia hingga renta

Tangan manis memiliki jari lentik
Selalu membelai dengan harapan
Memegang erat bagai tercekik
Pertanda akan ada tangisan

Maka keriput tak lagi bangga
Enggan sembuh di hadapan suntik
Tubuh elok secepat curiga
Itu pertanda kau tak  organik

Medan
25 Julli 2014




Share:

Senin, 14 Juli 2014

Merindukan Presiden Idaman Proletar

Terbit di Harian Analisa Selasa, 8 Juli 2014



 Oleh: Boy Raja Pangihutan Marpaung. 


Pergantian rezim yang semakin dekat merupakan hal yang ditunggu-tunggu oleh rakyat Indonesia. Sepuluh tahun Susilo Bambang Yudhoyono menjadi kepala negara kini tiba waktunya dia harus memberikan jabatannya kepada rezim baru. Pesta demokrasi yang sering disebut dengan pemilihan umum (Pemilu) akan menentukan kepada siapa dan rezim seperti apa yang akan tiba di setiap sendi kehidupan dan sosial rakyat Indonesia nantinya.
Penantian dan harapan rakyat Indonesia akan masa depan negara kini ditentukan oleh banyaknya lubang pada kertas yang akan disebar di seluruh tempat di Nusantara. Setiap lubang tentu memiliki penantian dan harapan yang sangatlah memberikan pesan pada rezim baru. Antusias rakyat Indonesia akan rezim baru terlihat jelas penuh harapan ketika angka golput menurun. Sikap politik yang diberikan rakyat tentu sebuah kerinduan akan sosok pemimpin yang mengharapkan kehadiran rakyatnya.
Namun sebenarnya, yang memiliki harapan yang sangat besar akan perubahan yang lebih baik untuk kehidupan manusia di Indonesia adalah mereka kaum proletar. Kesejahteraan dan keadilan merupakan sebutan yang dikampanyekan atas kehidupan mereka yang sangat jauh dari kehidupan yang layak. Dan tentu semestinya merekalah menjadi takaran atas harapan rezim baru yang akan datang.
Penentu yang Terabaikan
Dari strata kasta kehidupan sosial atau kelas-kelas masyarakat yang ada, proletar merupakan kelas yang paling bawah. Jika kita mengingat di buku pelajaran sosiologi maka akan ada gambaran kelas-kelas masyarakat. Gambaran yang berbentuk piramida dan dibagi menjadi tiga bagian yakni, kelas di bagian teratas, kelas menengah dan kelas bawah. Proletar menempati bagian terbawah dari bagian kelas terbawah tersebut. Proletar atau kelas yang terbawah dari strata kehidupan sosial dan sisanya merupakan kaum borjuis dan kaum pemilik modal.
Proletar atau proletariat ini berasal dari kata latin proles yang artiannya kelas sosial rendah. Maka kaum proletar ini sering disamakan dengan para buruh, buruh tani, petani, gelandangan dan kaum miskin kota, karena merekalah yang menempati bagian terbawah dari segitiga piramida tadi. Namun dalam sejatinya kaum proletar ini merupakan kelas terbawah yakni mereka yang hanya mengandalkan otot nya atau sering kita sebut buruh. 
Jika kita lihat gambar dari piramida itu, dari atas lebih lancip dan semakin lebar kebawah layaknya gambar segitiga. Tentu itu menunjukkan kwantitas dari kelas tersebut. Maka dapat kita simpulkan bahwa kelas terbawah merupakan kelas terbanyak dari semua kelas yang ada. Atau proletar mendominasi kaum borjuis dan pemodal dari segi jumlah banyaknya orang. Tentu ini menjadi kebenaran mutlak, jika dilihat dari sebuah perusahaan, contohnya pemiliknya adalah satu atau lima jika perusahaannya Tbk. sementara burhnya akan mencapai ribuan orang. Begitu jugalah demikiannya dalam negara.
Berarti dalam hal tersebut, jika kita kembali kepada topik pemilihan yang akan menentukan pemimpin yang akan datang, seharusnya kaum proletar merupakan penentu siapa yang akan memimpin. Dari jumlah yang mendominasi tentu akan dapat melahirkan pemimpin. Serta mereka juga seharusnya menjadi acuan para kandidat yang akan mencalonkan diri dengan misi rezim yang barunya. 
Namun dalam kenyataan yang terlihat saat ini, kaum proletar seakan terabaikan dari penglihatan para kandidat dan mereka yang memiliki kepentingan, walaupun mereka tetap menggunakan kata kesejahteraan dan keadilan dalam setiap kampanyenya. Seakan tidak ada ruang bagi par proletariat untuk menjadi salah satu penentu arah bangsa kedepan.
Ruang-ruang publik pada saat pemilihan presiden seperti ini seharusnya diisi lebih banyak dari kaum proletar. Contoh yang sering kita lihat pada saat berita-berita di televisi yang bertemakan pemilu, sangatlah jarang pembicara itu dari kelas mayoritas tersebut. Pengamat politik, pejabat, politikus, pengusaha, akademisi, tokoh agama dan aktivis yang mendominasi ruang publik dalam menyampaikan harapan-harapan pada calon pemimpin yang baru. Lalu kemana mereka para kaum proletar, kaum yang sangat mayoritas? Apa pernah seorang buruh diminta datang ke studio media televisi sebagai narasumber dalam topik pemilihan umum? Tentu tidak! Dan jelas mereka terabaikan.
Suara Penentu Masa Depan
Terabaikannya mereka dari pandangan kelas menengah dan atas dalam menyampaikan suara-suara mereka tentu akan mempengaruhi nasib bangsa ini kedepan. Sebab tak seorang pemimpin itu mengerti bagaimana persoalan para kelas bawah (proletar) jika dia tak pernah menjadi seorang proletar. Kecuali dia berniat untuk mengubah wataknya menjadi watak seorang proletar yang sebenar-benarnya merindukan sebuah kesejahteraan yang sejati. Dengan cara mendekatkan diri dengan mereka dan belajar akan kondisi kehidupan para kelas bawah yang mayoritas itu.
Tidaklah mudah, namun itulah kenyataannya. Para kelas masyarakat yang bukan kelas dari proletar hanya tahu pengertian kesejahteraan dari kamus saja, demikian juga para calon presiden. Sebab yang lebih paham pengertian kesejahteraan adalah mereka yang paling mengharapkan dan merindukannya. 
Maka berikanlah mereka ruang dan waktu untuk mengajarkan kita akan kesejahteraan yang sebernarnya. Menyampaikan makna kesejahteraan bagi para calon presiden yang akan datang. Juga bagi mereka yang menggunakan kata kesejahteraan untuk melanggengkan sebuah pekerjaannya. Agar kita mengerti dan paham sebenarnya apa persoalan di negeri ini dan siapa pemimpin yang pantas untuk memperbaiki persoalan tersebut.
Tulisan ini tentu menjadi pesan bagi para calon pemimpin, bahwa sebenarnya rahasia persoalan di negara ini berada di setiap kehidupan kelas bawah. Maka, mulailah mendekatkan diri untuk mendengarkan suara para proletariat itu, sebab suara merekalah penentu masa depan negeri ini. Merekalah punggung yang menahan kelas menengah dan kelas atas agar tetap berdiri pada posisinya, serta merekalah orang yang pantas menjadi panutan dalam memimpin negara ini.
Jika seorang pemimpin yang diidamkan para kaum proletar ini lahir, kedekatan kepada mereka membuat pemimpin tahu mengapa mereka tidak sejahtera dan lebih mudah juga untuk mengubahnya menjadi sejahtera. Dan yakinlah suatu saat piramida kelas masyarakat itu akan berubah menjadi meruncing ke bawah.***
* Penulis aktif di gerakan sosial dan Ka. Divisi Penelitian dan Riset di Hutan Rakyat Institute (HaRI)
Share:

BTemplates.com

Generasi Padi

Generasi Padi
Nassau

Total Tayangan Halaman

Rumah Kami

Rumah Kami
Porsea
@barunkbijiapikatamata. Diberdayakan oleh Blogger.

Mata yang Berbicara

Mata yang Berbicara
Canon 600D

Daftar Blog Saya

Translate

Pengikut

Labels