Terbit Di Harian Analisa
*Boy
Raja Pangihutan Marpaung
Informasi adalah kunci untuk pembangunan
sumber daya manusia. Maka tak heran jika di daerah-daerah yang memiliki akses
yang sangat sulit , sumber daya manusianya sangat minim, Itu karena sirkulasi
informasi yang sangat lambat.
Ada falsafah tua yang telah menjadi
warisan ingatan kita berbunyi “Buku adalah Jendela Dunia”. Falsafah ini menjadi
latah di bibir namun jauh dari pandangan kita. Hampir di seluruh pelosok negeri
ini falsafah ini pernah diucapkan dan diwariskan, namun sampai sekarang saya
melihat bahwa falsafah ini hanya cocok diucapkan di kota-kota saja.
Buku adalah jendela kota, mungkin
begitu yang lebih pantas. Karena akses buku di daerah-daerah memanglah sangat
minim. Sementara, selain koran, bukulah salah satu sumber informasi yang sangat
penting untuk pembangunan sumber daya manusia.
Yang mengherankan, hampir di seluruh
Kabupaten Kota di Indonesia di hadirkan seorang Kepadala Dinas Pendidikan,
namun perpustakaan daerah saja tak ada. Jika pun ada, itu hanya sampai pada
tingkatan Provinsi. Jadi, informasi apa lagi yang bisa dicerna di
daerah-daerah?
Lahirnya Gerakan Buku Menuju Desa
Kesadaran
akan pentingnya informasi sudah menjadi pengalaman bagi mereka yang sempat
berpergian dari desa dan mengecap pendidikan di kota. Namun ketika mereka
kembali kedesa, tak ada perubahan pada
desa terkait aktivitas masyarakat desa karena tidak berkembanya sumber dayanya.Ini
mendeorong beberapa teman-teman yang melakukan sebuah gerakan-gerakan
kecil-kecilan dengan bermodalkan pulang kampung namun membawa berjuta-juta
informasi.
Mengumpulkan
buku-buku dari kota, untuk di bawa ke desa dan membuat ruang informasi bagi
masyarakat. Beberapa teman-teman seperti Gerakan 1000 buku untuk Papua, 1001
Buku, Alusi Toa Toba dan bahkan teman-teman yang membuka akses-akses buku
kepada anak-anak jalanan. Seharusnya mereka-mereka ini yang pantas mendapatkan
apresiasi di banding kepala-kepada dinas pendidikan di daerah. 20 % dana APBN yang di alokasikan ke pendidikan
seperti terlewatkan begitu saja.
Gerakan
buku menuju desa ini menjadi hal penting, selain berguna bagi masyarkat, ini
sekaligus tamparan bagi sistem pendidikan kita yang kian lama semakin merosot.
Dikota, orang-orang sudah menikmati perbustakaan digital, sementara perpustaan
kecil saja di kabupaten kota tidak ada. Bagaimana lagi yang di desa?
Padahal,
tempat perbelanjaan seperti mini market sudah sampai ke daerah-daerah. Apakah
perusahaan mini market itu lebih besar dari sistem pendidikan kita? Apakah
konsumtif berbelanja lebih penting ketimbang konsumtif informasi. Sepertinya
dari puluhan tahun lalu, setiap desa tidak pernah kesulitan untuk berbelanja,
mereka selalu memiliki sistem budaya pasar tradisional. Lantas mengapa
perkembangan mini market lebih cepat ketimbang perkembangan fasilitas
informasi?
Kita
perlu bercermin untuk masa depan generasi kita. Kita harus melahirkan generasi
yang memiliki kemampuan agar menjadi sumber daya yang bergenuna dan tidak lagi
melahirkan generasi yang suka berbelanja dengan gaya hedonisme.
Menanamkan Informasi
Seharusnya
sudah selaras dengan program pemerintah yang mulai membangun desa, dan semoga
program pembangungan sumberdaya manusianya tidak sampai terlupakan. Karena
selama ini daerah desa hanya menjadi bulan-bulanan saja tanpa menikmati apa
yang sudah di ambil dari desa.Sama halnya seperti buku. Tidak ada hutan di
kota, hutan yang berada di desa yang di babat pohonnya dan di ubah menjadi
kertas yang akhirnya menjadi buku. Namun buku-buku bermutu tak pernah berada di
desa. Semua dibawa ke kota dan desa akan tetap seperti itu selamanya.
Tidak
susah merubah pola lama yang sudah berjalan ini. Sebab sudah banyak ide dari
orang-orang yang perduli ,sekarang saatnya pemerintah kita yang harus menerima
bolanya. Siap tidak siap pemerintah harus siap. Mengembangkan desa tidak cukup
dengan pembangunnan fisik desa, masyarakatnya yang seharusnya di utamakan.
Terutama daera-daerah yang masih tergolong
tertinggal seperti di Papua, Nusa Tenggara dan desa-desa yang berada di
kawasan perusahaan2 besar yang cendrung sangat tertinggal.
Jika
pemerintah niat untuk membangun desa, dengan banyaknya anggaran yang telah di
tuangkan, tak mungkin tak bisa. Terkecuali pemerintah yang kurang informasi
tidak mau belajar bagi para pengabdi yang sudah menjalankannya bertahun-tahun. Jika harus belajar dari mereka mengapa tidak
tentunya.
Sementara
bagi kawan-kawan yang sedang melakukannya secara independen dengan bermodalkan
kepedulian, jangan lah berhenti. Teruslah menyebarkan kepedulian, teruslah
mempengaruhi orang lain untuk membangun masyarakat di desa. Kita percaya suatu
saat sistem pendidikan kita akan berubah. Dan orang-orang hebat akan lahir dari
desa.
Dan
bagi kita yang belum bisa berbuat, marilah kita berapresiasi dengan
Berterimakasih pada orang-orang yang masih
peduli pada kondisi pendidikan di desa, bagi teman-teman yang membuat gerakan
buku menju desa, yang membuka rumah belajar di desa, bagi mereka yang memberika
buku-buku untuk rumah belajar di desa dan pada mereka yang siap mengabdi untuk
membajukan sumberdaya manusia di desa.
Jangan
lupa tentunya, agar kita mulai berkontribusi pada gerakan-gerakan buku menuju
desa, paling tidak menyumbangkan buku-buku bermutu untukk dikonsumsi masyarakat
desa guna membangun sumberdaya manusia di desa. Sebab dengan bersekolah saja
tidak cukup, karena buku yang di konsumsi mereka tidak memiliki pembanding
ataupun refrensi yang berbeda. Sehingga tidak ada sirkulasi informasi. Sebab, pendidikan tanpa sirkulasi informasi
adalah doktrin
*Penulis aktif di
gerakan sosial dan juga sebagai Pendiri
Ruma Parguruan
0 komentar:
Posting Komentar